USUL
PENELITIAN MAHASISWA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
Judul : Pengaruh Layanan
Konseling Behavioral
Dengan Teknik Perkuatan Intermiten Terhadap Kedisiplinan Siswa Pada Siswa “Y”
Kelas X IPA 2 di
SMA Negeri 3 Tanjung Raja
Nama : Cici Pratami
Nim : 06111007033
Pembimbing : 1.
Dr. Aisyah.,
A.R, M.Pd.
2. Drs.
Syarifuddin Gani, M.Si Kons.
I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pendidikan merupakan aset yang tak ternilai bagi individu
dan masyarakat. Sekolah merupakan tempat kedua bagi seorang individu untuk
memperoleh pendidikan setelah keluarga. Di sekolah individu tersebut disebut
sebagai seorang siswa. Di sekolah juga terdapat beberapa peraturan dan tata
tertib yang mengatur tingkah laku siswa. Dimana
siswa di sekolah harus mampu menaati segala peraturan dan tata tertib
yang ada tersebut agar siswa dapat menjadi disiplin. Sekolah sebagai tempat
untuk mendapatkan pendidikan selain di rumah, di sekolah individu akan
mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat melalui bimbingan dan pengajaran yang diberikan oleh sekolah
tersebut untuk bekal kehidupannya dimasa depan.
Nilai-nilai sangat penting ditanamkan dalam diri siswa
karena nilai mendasari sikap dan perilaku siswa dalam kehidupannya di
masyarakat. Nilai adalah ukuran baik-buruk, benar-salah, boleh-tidak boleh
suatu perilaku seseorang atau pernyataan yang berlaku di dalam kehidupan suatu
kelompok masyarakat. Di sekolah nilai-nilai ini ditanamkan kepada siswa melalui
sebuah aturan yang tercantum dalam tata tertib sekolah yang mengatur perilaku
siswa di lingkungan sekolah. Tata tertib sekolah mencakup aspek keterlambatan,
kehadiran, pakaian, kepribadian, ketertiban, senjata tajam/tawuran/narkoba,
siswa wajib mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, pengembangan diri dan layanan
bimbingan konseling. Untuk bisa mematuhi aturan-aturan yang terdapat dalam tata
tertib diperlukannya sikap disiplin pada siswa. Kedisiplinan
pada siswa penting untuk dipersiapkan dan dibina semenjak dini. Karena kedisiplinan itu
sebagai bekal bagi anak untuk mengarungi kehidupannya demi masa depan anak.
Disiplin adalah suatu
kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku
yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan
ketertiban. Disiplin akan membuat seseorang tahu dan dapat membedakan hal-hal
apa yang seharusnya dilakukan, yang wajib dilakukan, yang boleh dilakukan, yang
tak sepatutnya dilakukan (karena merupakan hal-hal yang dilarang). Selaras dengan pengertian di atas, pengertian kedisiplinan lainnya
adalah hal mentaati tata tertib di segala aspek kehidupan, baik agama, budaya,
pergaulan, sekolah, dan lain-lain. Dengan kata lain, kedisiplinan merupakan
kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku
individu yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kesetiaan, keteraturan dan
ketertiban. Berdasarkan dari kedua
pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kedisiplinan adalah serangkaian
perilaku individu yang menunjukkan ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan
dan ketertiban sehingga individu tahu dan dapat
membedakan hal-hal apa yang seharusnya dilakukan, yang wajib dilakukan, yang
boleh dilakukan, yang tak sepatutnya dilakukan (karena merupakan hal-hal yang
dilarang).
Dalam kenyataan yang sebenarnya di sekolah-sekolah siswa masih
banyak yang melakukan pelanggaran-pelanggaran tata tertib sehingga kedisplinan
belum tertanam dalam diri siswa. Kedisiplinan ini sangat penting ditanamkan
dalam diri siswa karena dengan adanya kedisiplinan diharapkan siswa dapat
mendisiplinkan diri dalam menaati peraturan sekolah sehingga proses belajar
mengajar berjalan dengan lancar dan memudahkan pencapaian tujuan pendidikan.
Oleh karena itu, siswa di sekolah perlu di bimbing atau ditunjukkan mana
perbuatan yang melanggar tata tertib dan mana perbuatan yang menunjang
terlaksananya proses belajar mengajar dengan baik agar tujuan pendidikan dapat
tercapai dengan baik. Dalam upaya menumbuhkembangkan kedisiplinan dalam diri
siswa diperlukan adanya kerjasama dan bantuan dari semua pihak sekolah, termasuk
salah satunya adalah guru Bimbingan dan Konseling. Guru Bimbingan dan Konseling
bertugas untuk membimbing siswa agar siswa memiliki pemahaman dan memperbaiki
perilaku siswa yang salah berkaitan dengan tata tertib sekolah dengan
memberikan layanan-layanan bimbingan dan konseling. Menurut Sulistyarini dan
jauhar (2014:23) dalam keseluruhan kegiatan pendidikan, khususnya pada tatanan
persekolahan, layanan bimbingan dan konseling
mempunyai posisi dan peran yang cukup penting dan strategis. Bimbingan
dan konseling berperan untuk memberikan layanan kepada siswa agar dapat berkembang secara optimal melalui
proses pembelajaran secara efektif.
Layanan konseling individual merupakan salah satu layanan
bimbingan dan konseling yang dapat dilaksanakan oleh guru Bimbingan dan
Konseling di sekolah untuk membantu siswa mengentaskan masalah pribadinya yang
dilakukan dengan tatap muka secara langsung dimana dilaksanakan interaksi
langsung antara siswa dan guru BK. Dalam pelaksanaan konseling individual ini juga dapat diterapkan pula pendekatan dan teknik-teknik
konseling yang ada dalam bimbingan dan konseling. Secara profesional guru
Bimbingan dan Konseling di sekolah dalam melaksanakan konseling individual
terhadap siswa sebaiknya menerapkan pendekatan dan teknik-teknik tersebut dalam
pelaksanaannya yang disesuaikan dengan permasalahan yang terjadi pada siswa.
Dalam penilitian ini peneliti akan menggunakan pendekatan behavioral dalam
konseling.
Pendekatan
behavioral, yaitu pendekatan yang terpusat pada tingkah laku manusia. Perilaku
yang dimiliki siswa yang dianggap bermasalah, yaitu perilaku yang didapat dari
hasil belajar/hasil interaksi dengan lingkungan. Menurut
Krumboltz &
Thoresen (Surya, 1988:187) pendekatan behavioral
adalah suatu proses membantu orang untuk
belajar memecahkan masalah interpersonal, emosional, dan
keputusan tertentu.Pendekatan behavioristik membatasi
perilaku sebagai fungsi interaksi antara pembawaan dengan lingkungan. Perilaku
yang dapat diamati merupakan suatu kepedulian dari para konselor sebagai
kriteria pengukuran keberhasilan konseling. Menurut pandangan ini manusia
bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar seperti yang dikemukakan oleh freud.
Sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi
kondisi-kondisipembentukan tingkah laku. Oleh karena itu, karakteristik pendekatan behavioral
adalah berfokus pada tingkah laku y. Dalam pandangan pendekatan behavioral
tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif
yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan
lingkungan. Dalam pelaksanaan konseling kelompok melalui pendekatan behavioral
ini peneliti menggunakan teknik perkuatan intermiten. Menurut Ni Putu, Ni Ketut
Suarni, dan Mudjijono (2012:3), Perkuatan
intermiten adalah suatu penguatan yang diberikan setiap tingkah laku yang diinginkan
muncul dan setelah frekuensi kemunculan perilaku yang diharapkan dapat
meningkat maka penguatan akan dikurangi.
Berdasarkan pengamatan peneliti selama melaksanakan kegiatan Pelaksanaan Pengembangan
dan Pengemasan Perangkat Pembelajaran (P4) di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Tanjung Raja, yaitu
pada tanggal 2 Oktober sampai dengan 29 November 2014. Peneliti melihat di
sekolah tersebut masih banyak terjadinya kasus pelanggaran disiplin yang
dilakukan oleh siswa-siswa. Perilaku siswa yang tidak disiplin tersebut, yaitu sering
datang terlambat ke sekolah, sering keluar masuk kelas pada saat jam pelajaran,
berpakaian tidak rapi, sering tidak mengikuti pelajaran di kelas, menyontek
tugas teman, sering tidak mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, merokok,
tidak memperhatikan penjelasan guru dikelas, berpakaian tidak rapi, memakai
seragam tanpa atribut lengkap, tidak masuk sekolah tanpa alasan, dan lain-lain.
Pelanggaran-pelanggaran itu terjadi dikarenakan pengaruh dari lingkungan. Hal
itu dikarenakan tidak ada hukuman atau konsekuensi yang tegas dari sekolah bagi
siswa yang melanggar kedisiplinan. Kemudian disekitar lingkungan sekolah ada
salah satu rumah warga yang menyediakan fasilitas PS (Play Station) sehingga banyak siswa pada jam pelajaran kosong yang
main PS (Play Station) di tempat
tersebut. Terindikasi bahwa siswa melakukan pelanggaran disiplin. Dari
permasalahan tersebut diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang pengaruh layanan konseling behavioral dengan teknik perkuatan intermiten
terhadap kedisiplinan siswa pada salah satu
siswa di kelas X IPA 2. Dimana apabila dilihat dari daftar buku pelanggaran
yang ada di sekolah siswa tersebut melakukan pelanggaran di sekolah cenderung lebih
banyak apabila dibandingkan dengan siswa lainnya. Perilaku tidak disiplin di
sekolah yang ditunjukkan oleh siswa yang berinisial “Y” di kelas X IPA 2 yang
berjenis kelamin laki-laki dilihat dari daftar buku pelanggaran yang ada di
sekolah, yaitu seperti sering datang terlambat ke sekolah, sering keluar masuk
kelas pada saat jam pelajaran, berpakaian tidak rapi, memainkan handpone pada saat jam pelajaran, sering
tidak mengikuti pelajaran di kelas, menyontek tugas teman, sering tidak
mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, pernah melawan guru, merokok, dan
tidak memperhatikan penjelasan guru dikelas. Selanjutnya, berdasarkan hasil wawancara
dengan guru bimbingan dan konseling yang ada di sekolah tersebut, terbukti bahwa
siswa “Y” sering melakukan pelanggaran peraturan dan tata tertib sekolah.
Perilaku-perilaku yang dilakukan oleh siswa tersebut sangat jelas merupakan
bentuk perilaku yang telah melanggar peraturan dan tata tertib sekolah
dikarenakan kurangnya kesadaran diri pada siswa sehingga tidak adanya sikap
kedisiplinan pada siswa di sekolah tersebut. Apabila perilaku siswa tersebut
terus dibiarkan maka akan berdampak buruk pada prestasi belajar mereka dan akan
merugikan dirinya sendiri serta merugikan orang lain. Oleh karena itu, dalam
konseling behavioral dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik perkuatan
intermitten dimana tujuannya untuk merubah perilaku siswa yang tidak displin
menjadi displin dan mempertahankan perilaku siswa yang telah terbentuk setelah
perilaku yang diharapkan muncul. Kemudian peniliti juga berupaya untuk bisa membantu
mengurangi perilaku pelanggaran peraturan dan tata tertib sekolah yang
dilakukan oleh siswa dengan meningkatkan sikap kedisiplinan siswa melalui
konseling behavioral dengan teknik perkuatan intermiten. Agar siswa disekolah
ini dapat memiliki sikap disiplin dalam dirinya sehingga mereka menjadi pribadi
yang taat akan peraturan dan tata tertib sekolah.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka
yang menjadi masalah pada penelitian ini adalah “Apakah ada pengaruh layanan konseling behavioral dengan teknik perkuatan intermiten terhadap
kedisiplinan siswa
pada siswa “Y” kelas X IPA 2 di SMA Negeri 3
Tanjung Raja?”.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas,
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh layanan konseling behavioral dengan teknik perkuatan intermiten
terhadap kedisiplinan siswa pada siswa “Y” kelas X IPA 2
di SMA Negeri 3 Tanjung Raja.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari
penelitian ini yaitu:
1. Bagi guru bimbingan dan konseling
Sekolah Menengah Atas Negeri 3
Tanjung Raja, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi
guru bimbingan dan konseling di SMA Negeri 3 Tanjung Raja untuk lebih
meningkatkan keprofesionalannya dalam memberikan layanan konseling kepada siswa
di sekolah. Dimana keprofesionalan guru bimbingan dan konseling tersebut
meliputi 4 kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis,
kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Selain
itu juga, guru bimbingan dan konseling di SMA Negeri 3 Tanjung Raja dapat
memanfaatkan hasil penilitian ini sebagai salah
satu saran model layanan yang dapat digunakan
dalam membantu siswa SMA yang melakukan pelanggaran aturan dan tata tertib sekolah agar
kedisiplinan siswa dapat meningkat melalui kegiatan layanan konseling
behavioral dengan teknik perkuatan intermiten yang disesuaikan dengan latar
belakang masalah siswa.
2. Bagi Sekolah, diharapkan kepada kepala sekolah untuk memfasilitasi
sarana/prasarana kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah, meningkatkan
kualitas SDM, serta kemampuan guru bimbingan dan konseling di sekolah untuk lebih mendukung dan mengembangkan
pelaksanaan kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah.
3. Bagi peneliti, peniliti dapat mengetahui seberapa besar pengaruh layanan konseling behavioral dengan teknik perkuatan intermiten
terhadap kedisiplinan siswa pada siswa “Y” kelas X IPA 2
di SMA Negeri 3 Tanjung Raja.
4. Bagi siswa, setelah mengikuti kegiatan layanan konseling behavioral
melalui teknik perkuatan intermiten, siswa diharapkan dapat menerapkan perilaku
disiplin dalam dirinya sehingga mereka memiliki kesadaran diri untuk melakukan
disiplin dan menaati tata tertib sekolah sehingga mereka dapat merubah tingkah
lakunya menjadi lebih disiplin.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konseling
Behavioral
2.1.1. Pengertian Konseling Behavioral
Menurut Willis (2013:69) dalam terapi
behavioral, perilaku dipandang sebagai respon terhadap stimulasi atau
perangsangan eksternal dan internal. Karena itu tujuan terapi adalah untuk
memodifikasi koneksi-koneksi dan metode-metode Stimulus-Respon (S-R) sedapat
mungkin. Kontribusi terbesar dari konseling behavioral (perilaku) adalah
diperkenalkannya metode ilmiah dibidang psikoterapi. Yaitu bagaimana
memodifikasi perilaku melalui rekayasa lingkungan sehingga terjadi proses
belajar untuk perubahan perilaku.
Menurut Corey (2005:193-194) pendekatan
behavioral atau terapi tingkah laku adalah penerapan aneka ragam teknik dan
prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Terapi ini
menyertakan penerapan yang sistematis prinsip-prinsip belajar pada pengubahan
tingkah laku ke arah cara-cara yang lebih adatif. Pendekatan ini, telah
memberikan sumbangan-sumbangan yang berarti, baik pada bidang-bidang klinis
maupun pendidikan. Berlandaskan teori belajar, modifikasi tingkah laku dan
terapi tingkah laku adalah pendekatan-pendekatan terhadap konseling dan
psikoterapi yang berurusan dengan pengubahan tingkah laku. Salah satu aspek
yang paling penting dari gerakan modifikasi tingkah laku adalah penekanannya
pada tingkah laku yang bisa didefinisikan secara operasional, diamati, dan
diukur. Tingkah laku, bukan konstruk-konstruk yang tak bisa diukur yang vital
bagi pendekatan-pendekatan psikodinamik, adalah fokus perhatian terapeutik.
Perubahan tingkah laku sebagai kriteria yang spesifik memberikan kemungkinan
bagi evaluasi langsung atas keberhasilan kerja dan kecepatan bergerak ke arah
tujuan-tujuan terapeutik yang bisa dispesifikasi dengan jelas. Bahwa
pertumbuhan terapi tingkah laku ditunjukkan oleh banyaknya penelitian yang
dilaksanakan adalah ciri lain dari gerakan ini.
Menurut Latipun (2011:84) dilihat dari
sejarahnya, konseling behavioral tidak dapat dipisahkan dengan riset-riset
perilaku belajar pada binatang, sebagaimana yang dilakukan Ivan Pavlov (abad ke
19) dengan teorinya classical
conditioning. Teori belajar itu menjadi mantap untuk diterapkan ke perilaku
manusia setelah behaviorisme yang dipelopori oleh psikolog Amerika, J.B. Watson
melakukan riset terhadap anak yang bernama Albert dan publikasi artikelnya “Psychology as the behaviorist views it”.
Sejalan dengan pendekatan yanng digunakan dalam teori behavioral, konseling
behavioral menaruh perhatian pada upaya perubahan perilaku.
Menurut Palmer (2011:53) pendekatan
behavioral atau terapi perilaku bertujuan untuk mengubah perilaku manusia yang
bisa diamati dan bisa diukur. Perubahan-perubahan itu dipilih oleh terapis
bersama dengan kliennya. Karena pendekatan ini bertujuan melihat perubahan
perilaku, beberapa problem lebih cocok dilakukan terapi perilaku daripada
terapi lainnya. Terapis bersikap direktif, memberi klien petunjuk yang jelas
tentang yang harus dilakukan agar bisa menghasilkan perubahan. Petunjuk itu
dipandu oleh kajian agar bisa menghasilkan perubahan. Petunjuk itu dipandu oleh
kajian terapis secara detail. Kajian itu mempertimbangkan tiga bidang utama:
faktor-faktor yang segera mengawali masalah, perilaku bermasalah itu sendiri,
dan konsekuensi perilaku itu bagi klien (dan juga orang-orang disekitarnya).
Menurut
Sulistyarini dan jauhar (2014:199) dalam pendekatan behavioral tingkah laku
tertentu pada individu dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidakpuasan yang
diperolehnya. Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan hasil
belajar, sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi
kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku.
Dari
pendapat diatas peneliti menyimpulkan bahwa konseling behavioral merupakan
salah satu pendekatan dalam konseling yang berfokus pada perilaku manusia
dimana dalam penerapannya berlandaskan pada teori belajar behaviorisme yang
bertujuan untuk mengubah perilaku manusia yang bisa diamati dan diukur kearah
cara-cara yang adatif dengan cara memanipulasi
dan mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku.
2.1.2. Konsep
Dasar dan Karakteristik Konseling Behavioral
Manusia adalah mahluk reaktif yang tingkah lakunya
dikontrol oleh faktor-faktor dari luar.Manusia memulai kehidupannya dengan
memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan
pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian.Pandangan tentang manusia sendiri dalam konseling behavioral, yaitu:1.) Respon tidak
selalu ditimbulkan oleh stimulus, akan tetapi lebih kuat oleh penguatan
(reinforcement); 2.) Lebih
menenkankan pada studi objek individual dibandingkan generalisasi kecenderungan
kelompok; 3.) Menekankan pada penciptaan situasi tertentu terhadap
terbentukknya perilaku dibandingkan motivasi dalam diri.
Kemudian ciri-ciri daripendekatan behavioral tersebut dapat diuraikan dalam (http://bkfkipuhamka.com/index.php?option=com_content&view=article&id=74:konseling-behavioristik&catid=45:karya-mahasiswa&Itemid=82) sebagai berikut:
1. Kebanyakan
perilaku manusia dapat dipelajari dan karena itu dapat dirubah.
2. Perubahan-perubahan
khusus terhadap lingkungan individual dapat
membantu dalam merubah perilaku-perilaku yang
relevan; prosedur-prosedur konseling berusaha
membawa perubahan-perubahan yang relevan dalam perilaku konseli
dengan merubah lingkungan.
3. Prinsip-prinsip
belajar sosial, seperti misalnya “reinforcement”
dan “social modeling”, dapat digunakan untuk mengembangkan
prosedur-prosedur konseling.
4. Keefektifan
konseling dan hasil konseling dinilai dari perubahan-perubahan dalam
perilaku-perilaku khusus konseli diluar dari layanan konseling yang
diberikan.
5. Prosedur-prosedur
konseling tidak statik, tetap, atau ditentukan
sebelumnya, tetapi dapat secara khusus
didisain untuk membantu konseli dalam memecahkan masalah
khusus.
Konseling behavioristik
membatasi perilaku sebagai fungsi interaksi antara pembawaan dengan lingkungan.
Perilaku yang dapat diamati merupakan suatu kepedulian dari para konselor
sebagai kriteria pengukuran keberhasilan konseling. Menurut pandangan ini
manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar seperti yang dikemukakan oleh
freud. Sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi
kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku. Karakteristik konseling behavioral
adalah :
a. Berfokus pada tingkah
laku yang tampak dan spesifik..
b. Memerlukan kecermatan
dalam perumusan tujuan konseling.
c. Mengembangkan prosedur
perlakuan spesifik sesuai dengan masalah klien.
d. Penilaian yang obyektif
terhadap tujuan konseling.
2.1.3. Asumsi Tingkah Laku
Bermasalah
Karakteristik
Perilaku Bermasalah. Perilaku bermasalah dalam pandangan behaviorist dapat
dimaknakan sebagai perilaku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau perilaku yang
tidak tepat, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Perilaku
yang salah penyesuaian terbentuk melalui proses interaksi dengan lingkungannya.
Behaviorist memandang perilaku yang bermasalah adalah sebagai berikut: a.
Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif
atau tingkah laku yang tidak tepat yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan
tuntutan lingkungan. b. Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentuk dari cara
belajar atau lingkungan yang salah. c. Manusia yang bermasalah itu mempunyai
kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari lingkungannya. Tingkah laku
maladaptif terjadi juga karena kesalahpahaman dalam menanggapi lingkungan
dengan tepat. d. Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar da
juga tingkah laku tersebut juga dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip
belajar.
2.1.4. Tujuan
Konseling
Berdasarkan karakteristik koseling behavioral yang telah dijelaskan di
atas terlihat sangat jelas bahwa konseling behavioral secara konsisten menaruh
perhatian pada perilaku yang tampak. Perilaku yang tidak tampak dan bersifat
umum harus dirumuskan menjadi lebih spesifik. Tujuan konseling harus cermat,
jelas dan dapat dicapai dengan prosedur tertentu. Berangkat dari uraian
tersebut secara singkat dapat dipahami bahwa tujuan konseling behavior menurut
Latipun (2011:90) adalah mencapai kehidupan tanpa mengalami perilaku
simtomatik, yaitu kehidupan tanpa mengalami kesulitan atau hambatan perilaku,
yang dapat membuat ketidakpuasan dalam jangka panjang dan/atau mengalami
konflik dengan kehidupan sosial. Kemudian secara khusus, tujuan konseling
behavioral mengubah perilaku salah dalam penyesuaian dengan cara-cara
memperkuat perilaku yang diharapkan, dan meniadakan perilaku yang tidak
diharapkan serta membantu menemukan cara-cara berperilaku yang tepat.
Selaras
dengan pendapat yang telah diuraiakan di atas menurut Sulistyarini dan jauhar
(2014:200) dalam bukunya menjelaskan bahwa tujuan konseling adalah untuk
menghapus/menghilangkan tingkah laku maladatif (masalah) untuk digantikan
dengan tingkah laku baru yaitu tingkah laku adatif yang diinnginkan klien.
Tujuan yang sifatnya umum harus dijabarkan ke dalam perilaku yang spesifik,
yakni:
(a) Diinginkan oleh klien.
(b) Konselor mampu dan bersedia membantu mencapai tujuan
tersebut.
(c) Klien dapat mencapai tujuan tersebut.
(d) Dirumuskan secara spesifik. Konselor dan klien
bersama-sama (bekerja sama) menetapkan/merumuskan tujuan khusus konseling.
2.1.5. Prinsip
Kerja Teknik Konseling Behavioral
Dalam konseling behavioral perlu
diperhatikan prinsip kerja teknik konseling behavioral tersebut. MenurutSulistyarini dan jauhar (2014:202) dapat dijelaskan bahwa
prinsip kerja
teknik konseling behavioral, antara lain:
1.
Memodifikasi
tingkah laku dengan memberikan penguatan. Agar klien terdorong untuk mengubah
tingkah lakunya, penguatan tersebut hendaknya mempunyai daya yang cukup kuat
dan dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata ditampilkan melalui tingkah laku
klien.
2.
Mengurangi
frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak diinginkan.
3.
Memberikan
penguatan terhadap suatu respons yang akan mengakibatkan terhambatnya
kemunculan tingkah laku yang tidak diinginkan.
4.
Mengondisikan
perubahan tingkah laku melalui pemberian contoh atau model (film, tape recorder, atau nyata langsung).
5.
Merencanakan
prosedur pemberian penguatan terhadap tingkah laku yang diinginkan dengan
sistem kontrak. Penguatannya dapat berbentuk ganjaran yang berbentuk materi
maupun keuntungan sosial.
2.1.6. Tahap-Tahap Konseling
Berbicara tentang
langkah-langkah dasar/tahap-tahap dalam proses konselingditemukan sejumlah
bagian yang berbeda-beda. Mengapa identifikasi ini dilakukan adalah untuk
mengajarkan ketrampilan-ketrampilan konseling. Menurut Sulistyarini dan jauhar (2014:201) walaupun pembagiannya
berbeda-beda dapat ditemukan lima tahap pokok, yakni :
a)
Assesment, langkah awal yang
bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika perkembangan klien (untuk mengungkapkan
kesuksesan dan kegagalannya, kekuatan dan kelemahannya, pola hubungan
interpersonal, tingkah laku penyesuaian, dan area masalahnya) Konselor
mendorong klien untuk mengemukakan keadaan yang benar-benar dialaminya pada
waktu itu. Assesment diperlukan untuk mengidentifikasi motode atau teknik mana
yang akan dipilih sesuai dengan tingkah laku yang ingin diubah.
b)
Goal setting, yaitu langkah untuk
merumuskan tujuan konseling. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari langkah
assessment konselor dan klien menyusun dan merumuskan tujuan yang ingin dicapai
dalam konseling. Perumusan tujuan konseling dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut : (a) Konselor dan klien mendifinisikan masalah yang dihadapi klien;
(b) Klien mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki sebagai hasil
konseling; (c) Konselor dan klien mendiskusikan tujuan yang telah ditetapkan
klien : (a) apakah merupakan tujuan yang benar-benar dimiliki dan diinginkan
klien; (b) apakah tujuan itu realistik; (c) kemungkinan manfaatnya; dan (d) kemungkinan
kerugiannya; (e) Konselor dan klien membuat keputusan apakahmelanjutkan
konseling dengan menetapkan teknik yang akan dilaksanakan, mempertimbangkan
kembali tujuan yang akan dicapai, atau melakukan referal.
c)
Technique
implementation, yaitu menentukan dan melaksanakan teknik konseling
yang digunakan untuk mencapai tingkah laku yang diinginkan yang menjadi tujuan
konseling.
d)
Evaluation termination, yaitu melakukan
kegiatan penilaian apakah kegiatan konseling yang telah dilaksanakan mengarah
dan mencapai hasil sesuai dengan tujuan konseling.
e)
Feedback, yaitu memberikan dan
menganalisis umpan balik untuk memperbaiki dan meingkatkan proses konseling.
Dalam (misscounseling.blogspot.com/2011/04/pendekatan-behavior.html) dapat dijelaskan secara rinci tahap-tahap dalam
konseling behavioral, yaitu:
Tahap
|
Indikator
|
Assesment
|
a. Mempersilahkan
konseli untuk menceritakan masalahnya
b. Mengidentifikasi
perilaku bermasalah
c. Mengklarifikasi
perilaku yang bermasalah
d. Mengidentifikasi
peristiwa yang mengawali perilaku bermasalah.
e. Mengidentifikasi
perilaku yang menyertai perilaku bermasalah.
f.Mengidentifikasi
intensitas perilaku bermasalah.
g. Mengidentifikasi
perasaan konseli pada saat menceritakan perilaku bermasalah.
h. Merangkum
pembicaraan konseli.
i. Menentukan
inti masalah
j. Mengidentifikasi
hal – hal yang menarik dalam kehidupan konseli.
k. Memberikan
motivasi pada konseli.
l. Mengidentifikasi hubungan sosila dari
konseli
|
Goal Setting
|
a. Mengungkapkan
kembali pernyataan konseli tentang tujuan yang igin dicapai.
b. Mempertegas
tujuan yang ingin dicapai.
c. Memberikan
kepercayaan dan menyakinkan konseli bahwa konselor benar – benar ingin
membantu konseli mencapai tujuan.
d. Membantu
konseli memandang masalahnnya dengan memperhatikan hambatan yang dihadapi
untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai.
e. Merinci
tujuan menjadi sub tujuan yang berurutan dan operasional.
|
Teknik Implementasi
|
a. Menentukan
teknik konseling yang sesuai dengan masalah konseli dan tujuan konseling.
b. Menyusun
prosedur perlakuan sesuai dengan tekhnik yang ditetapkan.
c. Melaksanakan
prosedur perlakuan sesuai dengan teknik yang ditetapkan.
d. Melaksanakan
prosedur perlakuan sesuai dengan teknik yang ditetapkan.
|
Evaluasi – Terminasi
|
a.
Menanyakan dan mengevaluasi apa yang
dilakukan konseli setelah diberi treatmen.
b.
Membantu konseli mentransfer apa yang
dipelajari dalam konseling ke tingkah laku konseling.
c.
Mengeksplorasi kemungkinan kebutuhan
konseli tambahan.
d.
Menyimpulkan apa yang telaah dialukakn
dan dikatakan konseli.
e.
Memberikan tugas- tugas yang harus
dilakukan pada pertemuan selanjutnya.
f.
Mengakhiri proses konseling
|
2.1.7. Prosedur Konseling
Menurut Latipun (2011:91) dalam bukunya menerangkan
bahwa untuk para ahli behavioris, konseling dilakukan dengan menggunakan
prosedur yang bervariasi dan sistematis yang disengaja secara khusus untuk
mengubah perilaku dalam batas-batas tujuan yang disusun secara bersama-sama
konselor dan klien. Tokoh ahli psikologi behavioral John D. Krumboltz dan Carl
Thoresen (Gibson dan Mitchell, 1981) menempatkan prosedur belajar dalam empat
kategori, sebagai berikut.
1.
Belajar operan (operant
learning), yaitu belajar didasarkan atas perlunya pemberian ganjaran (reinforcement) untuk menghasilkan
perubahan perilaku yang diharapkan. Ganjaran dapat diberikan dalam bentuk
dorongan dan penerimaan sebagai persetujuan, pembenaran atau perhatian konselor
terhadap perilaku yang dilakukan klien.
2.
Belajar mencontoh (imitative learning), yaitu cara dalam memberikan respon baru
melalui menunjukkan atau mengerjakan model-model perilaku yang diinginkan
sehingga dapat dilakukan oleh klien.
3.
Belajar kognitif (cognitive
learning), yaitu belajar memelihara respon yang diharapkan dan boleh
mengadaptasi perilaku yang lebih baik melalui instruksi sederhana.
4.
Belajar emosi (emotional
learning), yaitu cara yang digunakan
untuk mengganti respon-respon emosional klien yang tidak dapat diterima menjadi
respon emosional yang dapat diterima sesuai dengan konteks classical conditioning.
2.1.8. Peranan
Konselor
Konselor
behavioral memiliki peran yang sangat penting dalam membantu klien. Wolpe
mengemukakan peran yang harus dilakukan konselor, yaitu bersikap menerima,
mencoba memahami klien dan apa yang dikemukakan tanpa menilai atau
mengkritiknya.
Dalam hal ini menciptakan iklim yang baik
adalah sangat penting untuk mempermudah melakukan modifikasi perilaku. Konselor
lebih berperan sebagai guru yang membantu klien melakukan teknik-teknik
modifikasi perilaku yang sesuai dengan masalah, tujuan yang hendak dicapai.
Konselor
dalam pendekatan konseling behavioral adalah aktif dan direktif, dan berfungsi
sebagai konsultan dan problem solvers. Konselor behavioral berperan sebagai
guru, pengarah, dan ahli yang membantu konseli dalam mendiagnosis dan melakukan
teknik-teknik modifikasi perilaku yang sesuai dengan masalah dan tujuan yang
diharapkan, sehingga mengarah pada tingkah laku yang baru dan adjustive.
Konselor harus dapat menjadi model bagi konseli, karena salah satu hal mendasar
dalam pendekatan ini adalah bagaimana konseli belajar perilaku baru dengan
imitasi. Yang harus diperhatikan oleh konselor dalam proses konseling behavior
adalah:
1. Mengaplikasikan
prinsip dari mempelajari manusia untuk memberi
fasilitas pada penggantian perilaku
maladaptif dengan perilaku yang lebih adaptif.
2. Menyediakan
sarana untuk mencapai sasaran konseli, dengan membebaskan seseorang
dari perilaku yang mengganggu kehidupan yang efektif
sesuai dengan nilai demokrasi tentang hak individu untuk bebas mengejar sasaran
yang dikehendaki sepanjang sasaran itu sesuai dengan
kebaikan masyarakat secara umum.
2.1.9. Teknik-Teknik
Konseling
Didalam
konseling behavioral terdapat berbagai macam bentuk teknik yang dapat digunakan
dalam proses konseling. Seperti yang dipaparkan dalam (misscounseling.blogspot.com/2011/04/pendekatan-behavior.html) bahwa teknik-teknik tersebut yang disampaikan para ahli,
yaitu:
1. Latipun
(2008: 141-144), menyatakan terdapat beberapa teknik spesifik dalam konseling
behavior, yakni sebagai berikut:
a. Desensitisasi
sistematis, merupakan teknik relaksasi yang digunakan untuk menghapus perilaku
yang diperkuat secara negative biasanya berupa kecemasan, dan ia menyertakan
respon berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan.
b. Terapi impolsif, dikembangkan
berdasarkan atas asumsi bahwa seseorang yang secara berulang-ulang dihadapkan
pada suatu situasi penghasil kecemasan dan konsekuensi-konsekuensi yang
menakutkan ternyata tidak muncul, maka kecemasan akan menghilang.
c. Latihan perilaku
asertif, latihan asertif digunakan untuk melatih individu yang mengalami
kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar.
d. Pengkondisian
aversi, dilakukan untuk meredakan perilaku simptopatik dengan cara menyajikan
stimulus yang tidak menyenangkan (menyakitkan) sehingga perilaku yang tidak
dikehendaki tersebut terhambat kemunculannya.
e. Pembentukan perilaku
model, digunakan untuk: (1) membentuk perilaku baru klien, (2) memperkuat
perilaku yang sudah terbentuk.
f. Kontrak perilaku,
didasarkan atas pandangan bahwa membantu klien untuk membentuk perilaku
tertentu yang diinginkan dan memperoleh ganjaran tertentu sesuai dengan kontrak
yang disepakati.
2. Corey (2007: 212),
menyatakan teknik-teknik utama terapi tingkahlaku yaitu:
a.
Desensitisasi sistematik
Desensitisasi
sistematik digunakan untuk menghapus tingkahlaku yang diperkuat secara negatif,
dan ia menyertakan pemunculan tingkahlaku atau respons yang berlawanan dengan
tingkahlaku yang hendak dihapuskan itu.
b.
Terapi impolsif dan pembanjiran
Teknik
ini terdiri atas pemunculan stimulus berkondisi secara secara berulang-ulang
tanpa pemberian perkuatan.
c. Latihan asertif
d.
Terapi aversi
e. Pengkondisian
operan
f. Perkuatan
positif
Pembentukan
suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera
setelah tingkahlaku yang diharapkan muncul adalah suatu cara yang ampuh untuk
mengubah tingkahlaku.
g.Pembentukan
respon
Dalam
pembentukan respons, tingkahlaku sekarang secara bertahap diubah dengan
memperkuat unsur-unsur kecil dari tingkahlaku baru yang diinginkan secara
berturut-turut sampai mendekati tingkahlaku akhir.
h.Perkuatan
intermiten
i. Penghapusan
Apabila
suatu respon terus-menerus dibuat tanpa perkuatan, maka respons tersebut
cenderung menghilang.
j.Percontohan
Dalam
percontohan, individu mengamati seorang model dan kemudian diperkuat untuk
mencontoh tingkahlaku sang model.
k.Token
economy
Metode
token economy dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku apabila persetujuan
dan pemerkuat-pemerkuat yang tidak bisa diraba lainnya tidak memberikan
pengaruh.
3. Hendrarno, dkk (2003:
115-119), menyatakan bahwa teknik-teknik konseling di dalam pendekatan ini
terdiri dari dua metode yaitu metode pengkondisian klasik dan pengkondisian
operan. Berikut teknik spesifiknya:
a. Desensitisasi sistematik, digunakan
untuk menghapus tingkahlaku yang diperkuat secara negative dan ia menyertakan
pemunculan tingkah laku atau respon yang berlawanan dengan tingkahlaku yang
hendak dihapus itu.
b. Latiihan asertif, merupakan latihan
mempertahankan diri akibat perlakuan orang lain yang menimbulkan kecemasan.
c. Terapi aversi, digunakan untuk
menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan
kepekaan klien agar mengganti respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan
stimulus tersebut.
d. Perkuatan
positif, pembentukan suatu pola tingkahlaku dengan memberikan ganjaran atau
perkuatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul adalah suatu cara
ampuh untuk mengubah tingkahlaku.
e. Pembentukan respon, dalam pembentukan
respon tingkahlaku sekarang secara bertahap diubah dengan memperkuat
unsure-unsur kecil dari tingkahlaku baru yang diinginkan secara berturut-turut
sampai mendekati tingkahlaku akhir.
f. Perkuatan intermiten, dalam menerapkan
pemberian perkuatan pada pengubahan tingkahlaku, pada tahap-tahap permulaan
terapis harus mengajar setiap terjadi munculnya tingkahlaku yang diinginkan.
g. Penghapusan, apabila suatu respon terus
menerus dibuat tanpa perkuatan, maka respons tersebut cenderung hilang.
h. Imitation atau modeling, dalam
percontohan individu mengamati seorang model dan kemudian diperkuat untuk
mencontoh tingkahlaku seorang model.
i. Token ekonomi, merupakan salah satu
contoh dari perkuatan ekstrinsik, yang menjadikan orang-orang melakukan sesuatu
untuk meraih “pemikat di ujung tongkat”.
j. Sexual training, dipergunakan untuk
menghilangkan kecemasan yang timbul akibat pergaulan dengan jenis kelamin lain.
k. Convert sensitization, digunakan untuk
merawat tingkahlaku yang menyenangkan klien tapi menyimpang, seperti homosex,
alcoholism.
l. Thought stopping, digunakan bagi klien
yang sangat cemas.
Berdasarkan tiga
pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan behavioris memiliki
banyak teknik spesifik yakni sebagai berikut:
1. Desensitisasi sistematik
2. Latihan asertif
3. Terapi impolsif dan
pembanjiran
4. Pembentukan perilaku
model
5. Kontrak perilaku
6. Terapi
aversi
7. Pengkondisian operan
8. Pembentukan respon
9. Perkuatan positif
10. Perkuatan intermiten
11. Penghapusan
12. Token ekonomi
13. Sexual training
14. Thought stopping
2.1.10. Kelebihan Dan Kekurangan Behavioral
Ø Kelebihan
konseling Behavioral adalah :
- Dengan memfokuskan pada perilaku khusus bahwa klien dapat berubah, konselor dapat membantu klien kea rah pengertian yang lebih baik terhadap apa yang harus dilakukan sebagai bagian dari proses konseling.
- Dengan menitikberatkan pada tingkah laku khusus, memudahkan dalam menentukan kriteria keberhasilan proses konseling
- Memberikan peluang pada konselor untuk dapat menggunakan berbagai teknik khusus guna menghasilkan perubahan perilaku.
Ø Kekurangan
Konseling Behavioral adalah :
·
Kurangnya kesempatan bagi klien
untuk terlibat kreatif dengan keseluruhan penemuan diri atau aktualisasi diri.
·
Kemungkinan terjadi bahwa klien
mengalami “depersonalized” dalam interaksinya dengan konselor.
·
Keseluruhan proses mungkin tidak
dapat digunakan bagi klien yang memiliki permasalahan yang tidak dapat
dikaitkan dengan tingkah laku yang jelas.
·
Bagi klien yang berpotensi cukup
tinggi dan sedang mencari arti dan tujuan hidup mereka, tidak dapat berharap
banyak dari konseling behavioral.
2.2. Teknik Perkuatan Intermiten
2.2.1. Pengertian Teknik Perkuatan Intermiten
Menurut Corey (terjemahan Koswara,
2005:220) di dalam bukunya menjelaskan bahwa teknik perkuatan intermiten ini
merupakan salah satu metode yang ada dalam teknik pengondisian operan. Dimana
di dalam teknik perkuatan intermiten di samping membentuk
perkuatan-perkuatan bisa juga digunakan untuk memelihara tingkah laku yang
telah terbentuk. Untuk memaksimalkan nilai pemerkuat-pemerkuat, terapis harus
memahami kondisi-kondisi umum dimana perkuatan-perkuatan muncul. Oleh
karenanya, jadwal-jadwal perkuatan merupakan hal yang penting. Perkuatan
terus-menerus mengganjar tingkah laku setiap kali ia muncul. Sedangkan
perkuatan intermiten diberikan secara bervariasi kepada tingkah laku yang
spesifik.
Menurut Indrayani, dkk (dalam Fejournal
Undiksha, 2013) perkuatan intermiten adalah suatu penguatan yang diberikan
setiap tingkah laku yang diinginkan muncul dan setelah frekuensi kemunculan
perilaku yang diharapkan dapat meningkat maka penguatan akan dikurangi.
Penguatan tidak diberikan secara terus menerus seperti halnya dengan penguatan
positif. Perkuatan intermiten diberikan sewaktu-waktu saja dengan melihat
tingkat pencapaian siswa. Pada dasarnya perkuatan intermiten dipergunakan untuk
memelihara tingkah laku yang telah terbentuk.
Perkuatan intermiten adalah
penguatan secara terputus atau berjarak untuk mempertahankan tingkah laku. Untuk maksud
ini harus dibuat jadwal penguatan (reinforcement
schedule). Jadwal dibuat berdasarkan respon dan interval munculnya tingkah laku baik secara kontinyu, periodik
atau bervariasi dalam frekuensi penguatan. Misalnya berdasarkan Respons Tingkah Laku – Frekuensi
Bervariasi maka jika seorang anak Retardasi Mental berhasil menamakan suatu
benda (respon Tingkah Laku) maka dapat atau tidak
(frekuensi bervariasi)
diberikan reward. Perkuatan
intermiten untuk meningkatkan dan atau mempertahankan tingkah laku memakai prinsip
ini juga bila diterapkan untuk menurunkan frekuensi tingkah laku yang tidak
diinginkan. Dikutip dari (http://psikiatri-fds.blogspot.com/2012/03/v-behaviorurldefaultvmlo_12.html).
Perkuatan intermiten, diberikan secara
bervariasi kepada tingkah laku yang spesifik. Tingkah laku yang dikondisikan
oleh perkuatan intermiten pada umumnya lebih tahan terhadap penghapusan
dibanding dengan tingkah laku yang dikondisikan melalui pemberian perkuatan
yang terus-menerus. Dalam menerapkan pemberian perkuatan pada pengubahan
tingkah laku, pada tahap-tahap permulaan terapis harus mengganjar setiap
terjadi munculnya tingkah laku yang diinginkan, sesegera mungkin saat tingkah
laku yang diinginkan muncul. Dengan cara ini, penerima perkuatan akan belajar,
tingkah laku spesifik apa yang diganjar. Bagaimanapun, setelah tingkah laku
yang diinginkan itu meningkat frekuensi kemunculannya, frekuensi pemberian
perkuatan bisa dikurangi. Dikutip dari (http://sandri09a.blogspot.com/2012/03/terapi-perilaku-psikoterapi.html/).
Dikutip dari (https://lutfifauzan.wordpress.com/2009/12/01/teknik-reinforcement-dalam-konseling), perkuatan intermiten (Intermittent Reinforcement) adalah pemeliharaan
perilaku dengan memberikan reinforcer
sewaktu – waktu daripada memberikannya setiap saat perilaku muncul.
Dari pendapat diatas peneliti
menyimpulkan bahwa teknik perkuatan intermiten merupakan salah satu metode yang
ada dalam teknik pengondisian operan dalam konseling behavioral dimana
penguatan diberikanuntuk memelihara tingkah laku yang telah terbentuk dengan
cara mengganjar setiap kali tingkah laku yang diharapkan muncul dan penguatan tersebut tidak diberikan secara terus menerus
melainkan diberikan sewaktu-waktu saja dengan melihat tingkat pencapaian siswa,
maka pada
saat pengubahan tingkah laku pada tahap-tahap awal guru bimbingan dan konseling mengganjar
setiap terjadi munculnya tingkah laku yang diinginkan pada siswa.
2.2.2. Jadwal-Jadwal
Perkuatan Intermiten
Perkuatan intermiten tidak diberikan
secara terus menerus melainkan diberikan pada waktu-waktu tertentu saja sesuai
dengan pencapaian tingkah laku siswa. Oleh karena itu, harus
dibuat jadwal penguatan (reinforcement
schedule). Jadwal dibuat berdasarkan respon dan interval munculnya tingkah laku baik secara kontinyu, periodik
atau bervariasi dalam frekuensi penguatan.Berdasarkan
yang telah di kutip dari (http://psikiatri-fds.blogspot.com/2012/03/v-behaviorurldefaultvmlo_12.html) untuk meningkatkan dan
mempertahankan TL dipakai jadwal (schedule):
Ø
Fixed
Ratio Schedule: Penguatan terjadi setelah pasien melakukan
sekelompok respons TL tertentu yang diharapkan.
Ø
Variable
Ratio Schedule : Penguatan terjadi pada jumlah respon TL yang
bervariasi.
Ø
Fixed-Interval
Schedule
: Penguatan diberi setelah periode interval tertentu.
Ø
Fixed
Interval with Limited Hold Schedule : Penguatan
diberikan setelah interval
periodik dan durasi tertentu dari respon TL diharapkan.
Ø
Variable
Interval Schedule : Penguatan diberikan tanpa
memperhatikan interval pemunculan respon TL sekarang dan sebelumnya.
Ø
Variable
Interval with Limited Hold Schedule : Penguatan
tetap diberikan dengan variasi interval pemunculan dan durasi melakukan TL
ditetapkan.
Ø
Fixed
Duration Schedule : Penguatan diberikan bila respons TL
berlangsung dalam durasi waktu tertentu.
Ø
Variable
Duration Schedule : Penguatan tetap diberikan walaupun
durasi berlangsungnya TL bervariasi.
Sedangkan untuk menurunkan atau
menghilangkan TL dipakai :
Ø Differential Reinforcement of Low Rates :
Penguatan diberi bila respons TL menjadi sangat rendah frekuensinya. Pada full
session, penguatan diberi pada akhir pengamatan, pada intervally penguatan
diberi pada interval-interval tertentu sepanjang observasi dan pada space,
mirip interval, diberlakukan pada TL yang diinginkan tapi berlangsung terlalu
sering.
Ø Differential Reinforcement of Zero
Responding
: Penguatan diberi bila tidak muncul respons TL yang dikehendaki baik full
session, intervally ataupun space.
Ø Differential Reinforcement of
Incompatible Responding : Penguatan diberi bila respons TL yang
ingin dihilangkan diganti dengan TL yang bersaing.
2.2.3. Jenis-Jenis
Perkuatan Intermiten
Menurut Indrayani, dkk (dalam Fejournal
Undiksha, 2013) di dalam teknik perkuatan intermiten terdapat berbagai jenis
penguatan intermiten diantaranya penguatan interval tetap (fixed interval reinforcement), interval yang tidak tetap (variable interval schedule), (fixed ratio reinforcement), jadwal
rasio variabel (variabel ratio schedule).
Penguatan yang diberikan dapat berbentuk
verbal dan non verbal. Dimana penguatan verbal berupa kata-kata pujian,
dukungan, dorongan yang digunakan untuk menguatkan tingkah laku dan penampilan
komunikan. Kata-kata yang bisa diguanakan seperti: bagus, ya, benar, tepat,
bagus sekali, betul, dan sebagainya. Atau dalam bentuk kalimat seperti: saya
senang dengan pekerjaanmu, saya gembira mendengar usahamu, dan sebagainya. Sedangkan
penguatan non verbal adalah penguatan berupa mimik dan gerakan-gerakan badan
seperti, senyuman, anggukan, acungan jempol, dan sebagainnya. Penguatan
tersebut diberikan dengan maksud agar konseli menjadi termotivasi dalam
melakukan tingkah laku yang diharapkan.
2.2.4. Keuntungan
Perkuatan Intermiten
Dalam melaksanakan konseling behavioral
dengan menggunakan teknik perkuatan intermiten terdapat beberapa keuntungan
yang bisa diperoleh dari hasil konseling tersebut. Menurut Indrayani, Suarni,
dan Mudjijono (dalam Fejournal Undiksha, 2013) penggunaaan teknik penguatan
intermiten memiliki beberapa keuntungan diantaranya: 1) reinforcer tetap efektif dalam waktu yang lebih lama daripada continuous reinforcement (penguatan
berkelanjutan), 2) perilaku yang diberi intermittentreinforcementcenderung
lebih lama hilang daripada yang diberi continuous
reinforcement(penguatan berkelanjutan), 3) individu bekerja lebih
konsisten, 4) perilaku yang diberi intermittentreinforcementberlangsung
dengan cepat ketika dipindah ke reinforcer
dalam lingkungan yang alami. Senada dengan pendapat tersebut pernyataan diatas
juga didukung oleh pendapat dari Javanovich (1983:308) yang menyatakan bahwa,
“penguatan intermiten mampu mempertahankan tingkah laku siswa secara optimal,
bahkan lebih kuat dari penguatan yang berkelanjutan (continuous reinforcement). Hal tersebut terjadi karena terdapat
sedikit perbedaan antara situasi setelah diperkuat dan situasi sebelum
diperkuat.”
2.3.
Kedisiplinan
2.3.1.
Pengertian Kedisiplinan
Kedisiplinan
berasal dari kata disiplin, menurut kamus besar Bahasa Indonesia “disiplin
mempunyai arti ketaatan dan kepatuhan pada aturan, tata tertib dan lain
sebagainya”. Kata kedisiplinan berasal dari bahasa Latin yaitu discipulus, yang berarti mengajari atau mengikuti yang dihormat.
Kedisiplinan adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses
dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan,
kesetiaan, keteraturan, dan atau ketertiban. Karena sudah menyatu dengannya,
maka sikap atau perbuatan yang dilakukan bukan lagi atau sama sekali tidak
dirasakan sebagai beban, bahkan sebaliknya akan membebani dirinya bilamana ia
tidak berbuat sebagaimana lazimnya (Prijodarminto, 1994).
Menurut Ekosiswoyo dan Rachman
(2000), kedisiplinan hakikatnya adalah sekumpulan tingkah laku individu maupun
masyarakat yang mencerminkan rasa ketaatan, kepatuhan, yang didukung oleh
kesadaran untuk menunaikan tugas dan kewajiban dalam rangka pencapaian tujuan.
Kedisiplinan dapat diartikan
sebagai serangkaian aktivitas/latihan yang dirancang karena dianggap perlu
dilaksanakan untuk dapat mencapai sasaran tertentu (Sukadji, 2000).
Kedisiplinan merupakan sikap atau perilaku yang menggambarkan kepatuhan kepada
suatu aturan atau ketentuan. Kedisiplinan juga berarti suatu tuntutan bagi
berlangsungnya kehidupan yang sama, teratur dan tertib, yang dijadikan syarat
mutlak bagi berlangsungnya suatu kemajuan dan perubahan-perubahan ke arah yang
lebih baik (Budiono, 2006).
Shochib (2000:2) mengemukakan
pribadi yang memiliki dasar-dasar dan mampu mengembangkan kedisiplinan diri
berarti memiliki keteraturan diri
berdasarkan acuan nilai moral. Lebih lanjut dijelaskan bahwa siswa yang
mengembangkan kedisiplinan diri memiliki keteraturan diri berdasarkan nilai
agama, nilai budaya, aturan-aturan pergaulan, pandangan hidup, dan sikap hidup
yang bermakna bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa, dan negara.
Menurut Sugeng Prijodarminto
(dalam Tu’u, 2004:31) disiplin sebagai kondisi yang tercipta dan terbentuk
melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan,
kepatuhan, kesetiaan, keteraturan, atau ketertiban.
Santoso (2004)
menyatakan bahwa kedisiplinan adalah sesuatu yang teratur, misalnya disiplin
dalam menyelesaikan pekerjaan berarti bekerja secara teratur. Kedisiplinan
berkenaan dengan kepatuhan dan ketaatan seseorang atau kelompok orang terhadap
norma-norma dan peraturan-peraturan yang berlaku, baik yang tertulis maupun
yang tidak tertulis. Kedisiplinan dibentuk serta berkembang melalui latihan dan
pendidikan sehingga terbentuk kesadaran dan keyakinan dalam dirinya untuk
berbuat tanpa paksaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2007), menyatakan bahwa disiplin adalah:
a. Tata tertib (di
sekolah, di kantor, kemiliteran, dan sebagainya).
b. Ketaatan
(kepatuhan) pada peraturan tata tertib.
c. Bidang studi
yang memiliki objek dan sistem tertentu.
Maman Rachman
(1999) dalam Tu’u (2004:32) menyatakan disiplin sebagai upaya mengendalikan
diri dan sikap mental individu atau masyarakat
dalam mengembangkan kepatuhandan ketaatan terhadap peraturan dan tata tertib
berdasarkan dorongan dan kesadaran yang muncul dari dalam hatinya. Menurut Soetjipto dan Raflis Kosasi (dalam skripsi
Imaniyah, 2010:20) disiplin merupakan suatu keadaan dimana sikap, penampilan,
dan tingkah laku siswa sesuai dengan tatanan nilai, norma, dan
ketentuan-ketentuan yang berlaku di sekolah atau di kelas dimana mereka berada.
Menurut Akhmad Sudrajat (dalam jurnal
ilmiah konseling, 2013) setiap siswa dituntut dan diharapkan untuk berperilaku
setuju dengan aturan dan tata tertib yang berlaku di sekolahnya. Perilaku,
aturan dan tata tertib yang berlaku di sekolah tersebut dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1)
kepatuhan dan ketaatan siswa terhadap berbagai peraturan dan tata tertib yang
berlaku disekolahnya, itu biasa disebut dengan disiplin siswa. (2) peraturan,
tata tertib dan berbagai ketentuan lainnya yang berupaya mengatur perilaku
siswa disebut disiplin sekolah.
Dari pendapat diatas peneliti
menyimpulkan bahwa kedisiplinan adalah sikap atau perilaku siswa yang
mencerminkan rasa ketaatan, kepatuhan, dan ketertiban terhadap berbagai
peraturan atau tata tertib yang berlaku di sekolah sehingga siswa memiliki
keteraturan diri untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya di sekolah dalam
rangka mencapai perubahan-perubahan perilaku kearah yang lebih baik.
2.3.2. Pentingnya
Kedisiplinan
Dalam
belajar disiplin sangat diperlukan. Disiplin dapat melahirkan semangat
menghargai waktu, bukan menyia-nyiakan waktu berlalu dalam kehampaan. Ketika memasuki sekolah siswa dihadapkan
pada berbagai peraturan dan tata tertib yang harus ditaati dan dilaksanakan,
misalnya kita diharuskan masuk sekolah tepat pada waktunya, harus berpakaian rapi
sesuai peraturan yang berlaku. Kita juga diwajibkan untuk mengerjakan
tugas-tugas yang diberikan oleh guru dan tidak boleh malas dan diharuskan untuk
banyak belajar di rumah. Semua itu dimaksudkan agar tercipta suasana belajar
yang baik dan harmonis, sehingga diharapkan para siswa dapat belajar dengan
baik dan mencapai apa yang ia cita-citakan.
Disiplin apabila dikembangkan
dan diterapkan dengan baik, konsisten dan konsekuen maka akan berdampak positif
bagi kehidupan dan perilaku siswa, karena disiplin dapat mendorong siswa
belajar dengan kongkrit dalam praktek hidup di sekolah tentang hal-hal yang
positif. Berkenaan dengan tujuan disiplin sekolah, Rachman (dalam skripsi
Margiyanto, 2010:38) mengemukakan bahwa tujuan disiplin sekolah adalah:
(1) Memberi dukungan bagi terciptanya
perilaku yang tidak menyimpang;
(2) Mendorong siswa melakukan yang baik dan
benar;
(3) Membantu siswa memahami dan
menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya dan menjauhi melakukan hal-hal
yang dilarang oleh sekolah; dan
(4) Siswa belajar hidup dengan
kebiasaan-kebiasaan yang baik dan bermanfaat baginya serta lingkungannya.
2.3.3. Fungsi
Kedisiplinan
Fungsi
kedisiplinan menurut Tu’u (2004) adalah:
a.
Menata kehidupan bersama
Kedisiplinan sekolah berguna untuk menyadarkan siswa
bahwa dirinya perlu menghargai orang lain dengan cara menaati dan mematuhi
peraturan yang berlaku, sehingga tidak akan merugikan pihak lain dan hubungan
dengan sesama menjadi baik dan lancar.
b.
Membangun kepribadian
Pertumbuhan kepribadian seseorang
biasanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Disiplin yang diterapkan di
masing-masing lingkungan tersebut memberi dampak bagi pertumbuhan kepribadian
yang baik. Oleh karena itu, dengan disiplin seseorang akan terbiasa mengikuti,
mematuhi aturan yang berlaku dan kebiasaan itu lama kelamaan masuk ke dalam
dirinya serta berperan dalam membangun kepribadian yang baik.
c.
Melatih kepribadian
Sikap, perilaku, dan pola kehidupan
yang baik dan berdisiplin terbentuk melalui latihan. Demikian juga dengan
kepribadian yang tertib, teratur dan patuh perlu dibiasakan dan dilatih.
d.
Pemaksaan
Disiplin dapat terjadi karena adanya
pemaksaan dan tekanan dari luar, misalnya ketika seorang siswa yang kurang
disiplin masuk ke satu sekolah yang berdisiplin baik, terpaksa harus mematuhi
tata tertib yang ada di sekolah tersebut.
e.
Hukuman
Tata tertib biasanya berisi hal-hal
positif dan sanksi atau hukuman bagi yanng melanggar tata tertib tersebut.
Menciptakan lingkungan yang kondusif
Disiplin sekolah berfungsi mendukung terlaksananya proses
dan kegiatan pendidikan agar berjalan lancar dan memberi pengaruh bagi
terciptanya sekolah sebagai lingkungan pendidikan yang kondusif bagi kegiatan
pembelajaran.
2.3.4. Unsur
Kedisiplinan
Menurut Hurlock (dalam skripsi Handayani, 2007:85) menyebutkan 4 unsur
disiplin yang memberikan pengaruh yang cukup besar untuk meningkatkan
kedisiplinan individu, yaitu sebagai berikut:
1.
Peraturan
Peraturan adalah pola yang ditetapkan
untuk mengatur perilaku. Pola tersebut bertujuan untuk membekali individu
dengan pedoman perilaku yang disetujui bersama dalam kelompok, rumah, sekolah
dalam situasi tertentu. Peraturan mempunyai 2 fungsi yaitu:
a) Peraturan
mempunyai nilai pendidikan
Adanya peraturan dapat membantu
mendidik siswa, artinya adanya peraturan yang dibuat secara tidak langsung
mengajarkan kepada siswa mengenai nilai moral dan juga mengajarkan siswa akan
perilaku mana yang benar dan mana yang salah.
b) Membantu
mengekang perilaku yang tidak diinginkan, artinya adanya peraturan atau
larangan dapat membatasi perilaku siswa yang tidak diharapkan dan tidak
disetujui oleh lingkungan.
2.
Hukuman
Hukuman bertujuan untuk mencegah tindakan
yang tidak baik, untuk mendidik dan menyadarkan siswa bahwa perbuatan yang
salah mempunyai akibat tidak menyenangkan. Hukuman mempunyai 3 fungsi yaitu:
a) Fungsi pertama
adalah menghalangi, hukuman menghalangi pengulangan tindakan yang tidak
diinginkan oleh masyarakat.
b) Fungsi kedua
adalah fungsi mendidik, yakni menyadarkan anak bahwa setiap perbuatan itu
mempunyai konsekuensi.
c) Fungsi ketiga
adalah hukuman, yakni memberi motivasi anak untuk menghindari kesalahan.
3.
Penghargaan
Penghargaan yang diberikan kepada siswa
sebenarnya tidak perlu selalu berupa materi, tetapi dapat juga berupa
kata-kata, pujian, senyuman,tepukan punggung, dan sebagainya. Penghargaan
mempunyai 3 fungsi yaitu:
a) Fungsi pertama
penghargaan mempunyai nilai mendidik, agar dengan diberikannya penghargan siswa
memahami bahwa perilaku yang diperbuat benar.
b) Fungsi kedua
penghargaan ialah sebagai motivasi untuk mengulangi dan meningkatkan perilaku
yang baik dan disetujui oleh lingkungan sosial.
c) Fungsi ketiga
penghargaan ialah memperkuat perilaku, artinya dengan adanya penghargaan siswa
merasa perilaku yang dilakukan tidak hanya taat aturan tetapi juga memberikan keuntungan
bagi dirinya.
4.
Konsistensi
Konsistensi berati keseragaman atau
tingkat kestabilan, konsisten harus menjadi ciri semua aspek disiplin. Harus
ada konsisten dalam peraturan, hukuman, dan juga penghargaan, supaya anak tidak
bingung. Jika tidak konsisten anak akan sulit menetukan mana yang benar dan
boleh dilakukan dan mana yang salah dan tidak boleh dilakukan. Konsisten
mempunyai 3 fungsi yaitu:
a) Fungsi pertama
ialah mendidik siswa untuk selalu menjalankan perilaku disiplin dalam
kesehariannya.
b) Fungsi kedua
ialah motivasi, siswa yang selalu menerima konsistensi hukuman atas perilaku
yang salah dan penghargaan atas perilaku yang benar makan akan termotivasi
untuk selalu menjalankan perilaku yang benar.
c) Fungsi ketiga
ialah mempertinggi penghargaan terhadap perturan dan orang yang berkuasa.
2.3.5. Faktor
yang mempengaruhi kedisiplinan
Menurut Ekosiswoyo dan Rachman
(2000), faktor-faktor yang mempengaruhi kedisiplinan, antara lain:
Dari sekolah,
contohnya:
a. Tipe
kepemimpinan guru atau sekolah yang otoriter yang senantiasa mendiktekan
kehendaknya tanpa memperhatikan kedaulatan siswa. Perbuatan seperti itu
mengakibatkan siswa menjadi berpura-pura patuh, apatis atau sebaliknya. Hal itu
akan menjadikan siswa agresif, yaitu ingin berontak terhadap kekangan dan
perlakuan yang tidak manusiawi yang mereka terima.
b. Guru yang
membiarkan siswa berbuat salah, lebih mementingkan mata pelajaran daripada
siswanya.
c. Lingkungan
sekolah seperti: hari-hari pertama dan hari-hari akhir sekolah (akan libur atau
sesudah libur), pergantian pelajaran, pergantian guru, jadwal yang kaku atau
jadwal aktivitas sekolah yang kurang cermat, suasana yang gaduh, dan lain-lain.
Dari keluarga,
contohnya:
a. Lingkungan
rumah atau keluarga, seperti kurang perhatian, ketidak teraturan, pertengkaran,
masa bodoh, tekanan, dan sibuk urusannya masing-masing.
b. Lingkungan atau
situasi tempat tinggal, seperti lingkungan kriminal, lingkungan bising, dan
lingkungan minuman keras.
2.4.6. Bentuk-bentuk
perilaku pelanggaran sekolah
Menurut Kooi dan Schutx (dalam Sukadji, 2000), hal-hal yang dianggap
sebagai perilaku pelanggaran disiplin dapat digolongkan dalam lima kategori
umum, yaitu:
a. Agresi fisik
(pemukulan, perkelahian, perusakan, dan sebagainya).
b. Kesibukan
berteman (berbincang-bincang, berbisik-bisik, berkunjung ketempat duduk teman
tanpa izin).
c. Mencari
perhatian (mengedarkan tulisan-tulisan, gambar-gambar dengan maksud mengalihkan
perhatian dari pelajaran).
d. Menantang
wibawa guru (tidak mau nurut, memberontak, memprotes dengan kasar, dan
sebagainya), dan membuat perselisihan (mengkritik, menertawakan, dan
mencemoohkan).
e. Merokok di
sekolah, datang terlambat, membolos, dan “kabur”, mencuri dan menipu, tidak
berpakaian sesuai dengan ketentuan, mengompas (memeras teman sekolah), serta
menggunakan obat-obatan terlarang maupun minuman keras di sekolah.
2.4.6. Bentuk
Tata Tertib Sekolah di SMA Negeri 3 Tanjung Raja
Angka Kredit Pelanggaran Peserta Didik SMA Negeri 3
Tanjung Raja
NO.
|
NAMA PELANGGARAN
|
KREDIT
|
I
|
KETERLAMBATAN
|
|
1. Terlambat
lebih dari 5 menit
|
2
|
|
2. Terlambat
masuk setelah istirahat
|
5
|
|
3. Keluar saat
kegiatan belajar mengajar
|
5
|
|
4. Izin keluar
dan tidak kembali lagi
|
10
|
|
II
|
KEHADIRAN
|
|
1. Tidak masuk
sekolah dengan alasan izin
|
1
|
|
2. Tidak masuk
sekolah tanpa alasan
|
10
|
|
3. Tidak masuk
sekolah, tapi membuat surat palsu
|
10
|
|
4. Tidak piket
kelas atau tidak piket umum
|
5
|
|
5. Tidak
mengikuti upacara
|
10
|
|
6. Tidak masuk
sekolah sakit lebih dari 2 hari tanpa
|
2
|
|
keterangan
dokter/ puskesmas
|
|
|
III
|
PAKAIAN
|
|
1. Pakaian tidak
rapi
|
5
|
|
2. Tidak pakai
atribut
|
2
|
|
3. Tidak pakai
topi dan dasi saat upacara
|
2
|
|
4. Pakai ikat
pinggang lebar
|
5
|
|
5. Tidak memakai
kaos kaki putih dan memakai sepatu bukan hitam
|
5
|
|
6. Pakaian
dikeluarkan, ketat dan jankis
|
5
|
|
7. Pakai topi
bukan topi sekolah
|
2
|
|
8. Pakai celana
bermuara lancip bagi putra
|
5
|
|
9. Pakai jaket
dalam kelas kecuali sakit
|
5
|
|
10.
Pakai baju kaos/kaos olahraga saat KBM
|
5
|
|
11.
Rok pinggul bagi putri
|
5
|
|
12.
Memakai kaos dalam warna-warni
|
2
|
|
13.
Memakai baju seragam tidak sesuai dengan hari yang
ditetapkan
|
5
|
|
IV
|
KEPRIBADIAN
|
|
1.
Pakai perhiasan bagi siswa putri (aksesoris gelang,
behel gigi, dll)
|
5
|
|
2.
Pakai kalung/gelang bagi siswa putra
|
5
|
|
3.
Rambut dibuat model/gaya, warna warni atau dicat
|
5
|
|
4.
Berkata tidak senonoh
|
5
|
|
5.
Mengancam sesama siswa
|
10
|
|
6.
Mencuri
|
25
|
|
7.
Menerima/mengaktifkan hp saat KBM
|
10
|
|
8.
Merokok dalam lingkungan sekolah (jam 07.00-14.00)
|
25
|
|
9.
Membuang sampah sembarangan
|
5
|
|
10.
Merusak/mencoret fasilitas sekolah
|
10
|
|
11.
Makan atau
ngemil pada saat KBM berlangsung
|
10
|
|
12.
Membawa HP pakai kamera
|
20
|
|
V
|
KETERTIBAN
|
|
1.
Minumbulkan kegaduhan di dalam dan di luar saat KBM
|
10
|
|
2.
Melompat pagar/minggat disaat KBM
|
15
|
|
3.
Membawa makanan/minuman ke dalam kelas
|
15
|
|
4.
Makan di kantin saat KBM
|
20
|
|
5.
Bermusuhan/berkelahi di dalam dan di luar kelas
|
50
|
|
6.
Tidak mengerjakan tugas atau PR
|
5
|
|
7.
Tidak mengembalikan buku perpustakaan
|
50
|
|
8.
Membawa buku, majalah porno, CD, dan gambar porno di
dalam HP
|
100
|
|
9.
Pelecehan seksual
|
150
|
|
VI
|
SENJATA TAJAM/TAWURAN/NARKOBA
|
|
1.
Membawa senjata tajam tanpa izin sekolah
|
100
|
|
2.
Mengancam/melawan kepala sekolah, guru, karyawan
|
150
|
|
3.
Berkelahi/tawuran baik di dalam dan di luar kelas
|
100
|
|
4.
Mabuk, minuman keras
|
100
|
|
5.
Menggunakan narkoba di luar dan di dalam kelas
|
150
|
|
6.
Jadi provokator perkelahian
|
100
|
|
VII
|
SISWA WAJIB MENGIKUTI KEGIATAN EKSTRAKURIKULER,
PENGEMBANGAN DIRI DAN LAYANAN BIMBINGAN KONSELING
|
|
1.
Tidak mengikuti Ekstra Kurikuler
|
10
|
|
2.
Tidak ikut Bimbingan Konseling
|
10
|
|
3.
Tidak ikut pengembangan diri
|
10
|
|
4.
Tidak ikut kegiatan jumat taqwa/baca yasin bersama
|
10
|
III. METODE
PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
3.2. Pendekatan dan Jenis penelitian
Metode
penelitian
yang dipakai peneliti adalah menggunakan pendekatan
kuantitatif. Karena dalam pengelolaan data peneliti menggunakan perhitungan
statistik yang telah baku dan
menampilkan hasil berupa angka-angka. Sedangkan metode penelitian ini adalah
eksperimen. Menurut Gay (dalam Emzir,
2012:64) metode penelitian eksperimental merupakan satu-satunya metode
penelitian yang dapat menguji secara benar hipotesis menyangkut hubungan kausal
(sebab akibat). Dalam studi eksperimental, mengontrol variabel lain yang
relevan, dan mengobservasi efek/pengaruhnya terhadap satu atau lebih variabel
terikat. Menurut Arikunto (2010:9) dengan caraini
peneliti sengaja membangkitkan timbulnya sesuatu kejadian atau keadaan,
kemudian diteliti bagaimana akibatnya.” Dengan kata lain, eksperimen adalah
suatu cara untuk mencari hubungan sebab akibat (hubungan kausal) antara dua
faktor yang sengaja ditimbulkan oleh peneliti dengan mengeliminasi atau
mengurangi atau menyisihkan faktor-faktor lain yang mengganggu. Eksperimen
selalu dilakukan dengan maksud untuk melihat akibat suatu perlakuan.
Menurut
Sugiyono (2013:107)
Penelitian eksperimen dapat diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan
untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang
terkendalikan.
“Disain penelitian eksperimen secara garis besar dapat dibedakan menjadi
dua kelompok, yaitu (1) disain kelompok (group design) dan (2) disain subyek
tunggal (single subject design)” (Sunanto, dkk., 2006:41).
Pada penelitian ini peneliti
menggunakan metode eksperimen dengan subjek tunggal atau Single Subject Research (SSR), yaitu penelitian yang dilaksanakan
pada subyek dengan tujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh dari perlakuan yang
diberikan secara berulang-ulang dalam waktu tertentu (dalam jurnal Pertiwi,
2013:23). Single Subject Research
(SSR) biasanya digunakan dalam penelitian tentang perubahan tingkah laku yang
timbul akibat adanya intervensi yang dilakukan secara berulang-ulang dalam
kurun waktu tertentu. Dalam penelitian modifikasi perilaku ini, penggunaan data
individu lebih utama daripada rata-rata kelompok. Menurut Sunanto, dkk
(2006:11) memaparkan bahwa dalam proses penelitianSingle Subject Research (SSR) ada empat kegiatan utama yang perlu
dilakukan, yaitu mengidentifikasi masalah dan mendefinisikan dalam bentuk
perilaku yang akan diubah yang teramati dan terukur; menentukan tingkat
perilaku yang akan diubah sebelum memberikan intervensi; memberikan intervensi;
dan menindaklanjuti (follow up) untuk
mengevaluasi apakah perubahan perilaku yang terjadi menetap atau bersifat
sementara. Dalam istilah penelitian subyek tunggal, perilaku yang akan diubah
disebut perilaku sasaran atau target
behavior yang dalam penelitian eksperimen pada umumnya disebut variabel
terikat.
3.1.1
Desain Penelitian
Penelitian
ini berbentuk Single Subject Research (SSR). Disain penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah disain A-B. Disain A-B merupakan disain
dasar dari penelitian di bidang modifikasi perilaku dengan subyek tunggal.
Disain A-B ini melibatkan satu peserta saja. Prosedur disain ini disusun atas
dasar apa yang disebut dengan logika baseline (baseline logic). Dengan
penjelasan yang sederhana, logika baseline menunjukkan suatu pengulangan
pengukuran perilaku sasaran (target behavior) pada sekurang-kurangnya
dua kondisi, yaitu kondisi baseline (A) dan kondisi intervensi
(B) (Sunanto, dkk., 2006:42).Dimana
(A) merupakan phase baseline sebelum diberikan intervensi, (B) merupakan
phase treatment.Phase baseline (A) adalah suatu phase saat
target behavior diukur secara periodik sebelum diberikan perlakuan
tertentu. Phase treatment (B) adalah phase saat target
behavior diukur selama perlakuan tertentu diberikan. Jika terjadi perubahan
perilaku sasaran pada kondisi intervensi setelah dibandingkan dengan kondisi
baseline, maka diasumsikan bahwa perubahan tersebut karena adanya pengaruh dari
intervensi yang diberikan (dalam ejournal UNP, 2013:249).
Lovaas
(dalam Sunanto, 2006:42) menyatakan bahwa prosedur utama yang ditempuh dalam
disain A-B meliputi pengukuran perilaku sasaran (target behavior)pada
kondisi baseline dan setelah kecenderungan arah dan level datanya stabil
kemudian intervensi mulai diberikan. Selama kondisi intervensi perilaku sasaran
(target behavior) secara kontinu dilakukan pengukuran sampai mencapai
data yang stabil. Oleh sebab itu, maka menurut Hasselt dan Hersen (dalam
Sunanto, 2005) dalam penelitian single subject akan selalu ada
pengukuran perilaku pada fase baseline dan pengulangannya pada
sekurang-kurangnya satu fase intervensi.
Desain penelitian yang digunakan adalah sebagai
berikut:
A - B
|
Sumber: (Sunanto, 2006:42)
Keterangan:
A: Baseline (Kondisi sebelum diberikan
intervensi)
B: Intervensi (Kondisi selama perlakuan/intervensi
tertentu diberikan)
Secara umum disain A-B mempunyai prosedur dasar
seperti yang digambar sebagai berikut:
P 50
E
R
I 40
L
A
K
U 30 Baseline (A) Intervensi (B)
S
A
S 20
A
R
A 10
N
1
2 3 4 5
6 7
SESI
(WAKTU)
Grafik 3.1 Pola Desain A-B
Keterangan:
1. Baseline (A), adalah gambaran mengenai kondisi asli sebelum
diberikan perlakuan atau intervensi. Gambaran asli tersebut adalah kondisi awal
perilaku kedisiplinan subjek pada kegiatan sehari-hari di sekolah. Untuk
mengukur perilaku tidak disiplin subjek menggunakan persentase yang dilakukan
sebanyak 3 sesi.
2. Intervensi (B), adalah
gambaran mengenai perilaku kedisiplinan subjek selama diberikan intervensi
secara berulang-ulang dengan melihat hasil pada saat intervensi. Intervensi
yang diberikan adalah konseling behavioral dengan menggunakan teknik perkuatan
intermiten untuk mengurangi perilaku ketidak disiplinan subjek. Fase intervensi
ini dilakukan sebanyak 4 sesi.
3.3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini
dilaksanakan di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Tanjung Raja yang beralamat di Jalan Lintas Timur Dusun
Ulak Kerbau Kecamatan Tanjung Raja Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan.
3.4.Variabel Penelitian
3.4.1. Definisi Variabel
Menurut Arikunto
(2010:159) istilah “variabel”
merupakan istilah yang tidak pernah ketinggalan dalam setiap jenis penelitian,
F.N. Kerlinger menyebut variabel sebagai sebuah konsep seperti halnya laki-laki
dalam konsep jenis kelamin, insaf dalam konsep kesadaran.
Menurut
Sutrisno Hadi (dalam Arikunto, 2010:159) mendefinisikan variabel sebagai gejala
yang bervariasi misalnya jenis kelamin, karena jenis kelamin mempunyai variasi:
laki-laki---perempuan; berat badan, karena ada berat 40 kg, dan sebagainya.
Gejala adalah objek penelitian, sehingga variabel adalah objek penelitian yang
bervariasi.
Menurut Sugiyono (2013:61) Variabel penelitian adalah suatu atribut atau
sifat atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya.
Macam-macam
variabel dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu: 1. Variabel
Independen: variabel ini sering disebut sebagai variabel stimulus, predictor, antecedent. Dalam bahasa Indonesia sering
disebut sebagai variabel bebas. Variabel bebas merupakan variabel yang
mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel
dependen (terikat). 2. Variabel Dependen: sering disebut sebagai variabel
output, kriteria, konsekuen.
Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai variabel terikat. Variabel
terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena
adanya variabel bebas. Dalam penelitian ini yang menjadi kedua variabel
tersebut adalah:
1. Variabel Independen (variabel bebas): Layanan konseling behavioral
dengan teknik perkuatan intermiten
2. Variabel Dependen (variabel terikat): Kedisiplinan Siswa
3.5. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional merupakan
uraian yang berisi perincian sejumlah indikator yang dapat diamati dan diukur
untuk mengidentifikasi variabel atau konsep yang digunakan.
Definisi
operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
3.5.1. Definisi
Operasional Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah Layanan konseling behavioral dengan teknik perkuatan
intermiten, yang dimaksud dalam penelitian ini adalah layanan konseling
individual yang diberikan oleh peneliti kepada siswa yang mengalami masalah ketidak
disiplinan di sekolah dengan cara melalui assesment, goal setting, technique
implementation, evaluation termination, feedback dengan tujuan agar terjadinya perubahan tingkah laku pada
siswa ke arah yang lebih baik dan dengan teknik perkuatan intermiten bertujuan
untuk membantu siswa dalam meningkatkan kedisiplinan siswa di sekolah.
3.5.3. Definisi
Operasional Terikat
Variabel bebas pada penelitian ini adalah kedisiplinan siswa “Y”.
Kedisiplinan siswa di sekolah yang dimaksud, yaitu sikap atau perilaku siswa
yang berkaitan dengan kehadiran, kepribadian, dan ketertiban yang sesuai dengan
peraturan atau tata tertib yang berlaku di sekolah sehingga diharapkan siswa
memiliki keteraturan diri untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya di sekolah
dalam rangka mencapai perubahan-perubahan perilaku kearah yang lebih baik.
3.6. Subjek
Penelitian
Subjek penelitian adalah sumber data yang memiliki
masalah. Subjek penelitian dalam penelitian ini diketahui melalui observasi
langsung selama melaksanakan kegiatan Pelaksanaan Pengembangan dan Pengemasan
Perangkat Pembelajaran (P4) di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Tanjung Raja, yaitu
pada tanggal 2 Oktober sampai dengan 29 November 2014. Selain itu juga,
informasi dari guru bimbingan dan konseling yang ada di SMA Negeri 3 Tanjung
Raja dan dari daftar buku pelanggaran yang ada di sekolah pada masa Pelaksanaan
Pengembangan dan Pengemasan Perangkat Pembelajaran (P4). Subjek penelitian adalah kedisiplinan siswa “Y”. Perilaku
tidak disiplin di sekolah yang ditunjukkan oleh siswa yang berinisial “Y” di
kelas X IPA 2 yang berjenis kelamin laki-laki dilihat dari daftar buku
pelanggaran yang ada di sekolah, yaitu seperti sering datang terlambat ke
sekolah, sering keluar masuk kelas pada saat jam pelajaran, berpakaian tidak
rapi, memainkan handpone pada saat
jam pelajaran, sering tidak mengikuti pelajaran di kelas, menyontek tugas
teman, sering tidak mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, pernah melawan
guru, merokok, dan tidak memperhatikan penjelasan guru dikelas.
3.7. Prosedur Penelitian
1. Pengambilan sampel sebelum baseline
2. Pelaksanaaan baseline
3. Perancangan intervensi
4. Merumuskan tujuan intervensi
5. Sasaran intervensi
6. Pelaksanaan intervensi
7. Proses intervensi
8. Evaluasi dan indikator keberhasilan
9. Kondisi intervensi
3.8. InstrumenPengumpulan
Data
3.8.1. Teknik Pengumpulan
Data
Sebelum peneliti membuat instrumen pengumpulan data terlebih dahulu
peneliti merumuskan kisi-kisi instrumen penelitian, yaitu:
Kisi-kisi
Penyusunan Instrumen Variabel Kedisiplinan
=
|
Indikator
|
Sub Indikator
|
No. Item
|
Kedisiplinan
adalah sikap atau perilaku siswa yang mencerminkan rasa ketaatan, kepatuhan,
dan ketertiban terhadap berbagai peraturan atau tata tertib yang berlaku di
sekolah sehingga siswa memiliki keteraturan diri untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya di sekolah dalam rangka mencapai perubahan-perubahan perilaku
kearah yang lebih baik.
|
1. Kehadiran
|
1.
Terlambat lebih dari 5 menit
2.
Keluar saat kegiatan belajar mengajar
3.
Tidak masuk sekolah dengan alasan izin atau tanpa
alasan
4.
Tidak piket kelas atau tidak piket umum
5.
Tidak mengikuti upacara
|
2, 19
9, 10
1, 7
31, 44
28, 29
|
2. Kepribadian
|
1.
Pakaian tidak rapi
2.
Tidak pakai atribut
3.
Tidak memakai kaos kaki putih dan memakai sepatu bukan
hitam
4.
Memakai baju seragam tidak sesuai dengan hari yang
ditetapkan
5.
Pakai kalung/gelang bagi siswa putra
6.
Rambut dibuat model/gaya, warna warni atau dicat
7.
Mengancam sesama siswa
8.
Mencuri
9.
Tidak menerima/mengaktifkan HP saat KBM
10. Merokok dalam lingkungan sekolah (jam
07.00-14.00)
11. Membuang sampah sembarangan
12. Makan atau ngemil pada saat KBM
berlangsung
|
15, 24
3, 35
36, 46
42, 47
37, 48
6, 27, 55
33, 49
34, 50
13, 22
11, 20
4, 23
38, 41
|
|
3. Ketertiban
|
1.
Minumbulkan kegaduhan di dalam dan di luar saat KBM
2.
Melompat pagar/minggat disaat KBM
3.
Bermusuhan/berkelahi di dalam dan di luar kelas
4.
Tidak mengerjakan tugas atau PR
5.
Tidak mengembalikan buku perpustakaan
6.
Membawa buku, majalah porno, CD, dan gambar porno di
dalam HP
7.
Membawa senjata tajam tanpa izin sekolah
8.
Menggunakan narkoba di luar dan di dalam kelas
9.
Tidak mengikuti Ekstra Kurikuler
10. Tidak ikut Bimbingan Konseling
|
18, 21
12, 8
16, 25
5, 30
14, 51
32, 52
17, 26
45, 53
39, 43
40, 54
|
Validitas
Untuk menguji validitas pada
pernyataan ini dilakukan dengan menggunakan validitas ini. Validitas ini adalah
kesesuaian butir-butir angket dengan obyek hendak diukur. Validitas ini adalah
sistematik lewat pengujian terhadap isi tes sejauh mana item-item dalam tes
mengungkap keseluruhan isi obyek yang diukur atau sejauh mana isi tes mencerminkan
atribut yang diukur dalam penelitian ini, peneliti membuat 55
pernyataan/pertanyaan untuk diuji validitas dengan responden 10 siswa. Dimana
responden 10 siswa yang akan diuji merupakan siswa yang dipilih berdasarkan
dari ciri-ciri tingkah lakunya yang hampir sama dengan subjek penelitian yang
juga sering melakukan pelanggaran tata tertib di sekolah atau tidak displin di
sekolah. Penggunaan instrumen ini dimaksudkan untuk mendapatkan data informasi
yang berkaitan dengan variabel penelitian. Hasil validitas item akan diberikan
kepada responden. Penentuan validitas menggunakan SPPS 16.0.
Perhitungan validitas secara manual
menggunakan rumus product moment oleh
phearson, yaitu:
Keterangan:
X = Skor yang diperoleh subyek dari seluruh item
Y = Skor total yang diperoleh dari seluruh item
ΣX = Jumlah skor dalam distribusi X
ΣY = Jumlah skor dalam distribusi Y
ΣX2 = Jumlah kuadrat dalam skor distribusi X
ΣY2 = Jumlah kuadrat dalam skor distribusi Y
N = Banyaknya responden
rxy= koofisien
korelasi antara X dan Y
Reliabilitas
Uji reabilitas adalah alat untuk
mengukur suatu instrumen atau kuisioner dapat dipercaya atau tidak sebagai
hasil penelitian yang baik (Arikunto, 2006:154). Dalam penelitian ini untuk
menguji reliabilitasnya menggunakan rumus Alpha Cronbach dengan rumus:
Untuk mempermudahkan perhitungan
SPSS memberikan fasilitas untuk mengukur reliabilitas dengan uji statistik Alpha
Cronbach. Suatu konstruk atau variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai
lihat tabel Alpha Cronbach > 0,60.
1.
Angket
Angket didefinisikan sebagai sejumlah pertanyaan atau
pernyataan tertulis tentang data faktual atau opini yang berkaitan dengan diri
responden, yang dianggap fakta atau kebenaran yang diketahui dan perlu dijawab
oleh responden (Sutoyo, 2012:189). Angket ini digunakan untuk memperoleh informasi dan
mengungkapkan data tentang penerapan
disiplin sekolah pada siswa. Angket tersebut akan diberikan kepada
siswa sebelum dilaksanakan perlakuan dan sesudah dilaksanakan perlakuan
dengan tujuan untuk mengetahui kondisi awal sebelum diberikannya perlakuan
dan kondisi setelah diberikannya perlakuan.
Jenis pertanyaan dalam angket atau kuisioner ini adalah pertanyaan dalam
bentuk pertanyaan tertutup dengan empat pilihan jawaban. Pada penelitian ini, angket atau kuesioner disusun dengan menggunakan
format skala likert.
Menurut Sugiyono (2013:134) skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan
persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial.
Adapun pemberian skor untuk masing-masing item adalah sebagai berikut :
Tabel 1
Skor Penilaian
Pertanyaan |
Skor
|
||||||
SL
|
SR
|
KD
|
JR
|
TP
|
|||
Skor Pertanyaan Positif
|
5
|
4
|
3
|
2
|
1
|
||
Skor Pertanyaan Negatif
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
||
(Sugiyono, 2013:135)
Keterangan :
(+) (-)
a.
Selalu
(SL) Skor 5 1
b.
Sering (SR) Skor
4 2
c.
Kadang-kadang
(KD) Skor 3 3
d.
Jarang (JR) Skor 2 4
e.
Tidak Pernah
(TP) Skor 1 5
Rentang penilaian pada penelitian
ini menggunakan rentang skor angket dari 1-5 dengan banyak item 55, sehingga interval kriteria tersebut dapat ditententukan
dengan cara sebagai berikut :
Skor maksimum = 5 x 55 =
275
Skor minimum = 1 x 55 =
55
Rentang = 275-55 =
220
Panjang kelas interval = 220 :
4 = 55
Presentase
skor maksimum = (5:5) x 100% = 100%
Presentase skor
minimum = (1:5) x 100% = 20%
Rentang
presentase skor = 100% -
20% = 80%
Panjang kelas
interval = rentang : banyak
kriteria
= 80% : 5
= 16%
Adapun rumus
persentase yang digunakan adalah :
% = n x 100%
N
Keterangan :
% = Persentase
yang dicari
n = jumlah
skor yang diperoleh
N = jumlah
skor yang diharapkan
2. Observasi
atau Pengamatan
Gall dkk.
(dalam Sutoyo, 2012:85) memandang observasi sebagai salah satu metode pengumpulan data dengan cara
mengamati perilaku dan lingkungan (sosial dan atau material) individu yang
sedang diamati.
Menurut
Sugiyono (2013:203) teknik
pengumpulan data dengan observasi digunakan bila, penelitian berkenaan dengan
perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang
diamati tidak terlalu besar. Metode
ini digunakan untuk mengungkap keterangan yang berhubungan dengan kegiatan yang
dilakukan siswa saat diberikannya perlakuan di dalam kelas. Perilaku siswa yang diamati yaitu perilaku
ketidakdisiplinan siswa sebelum melaksanakan kegiatan layanan konseling
behavioral dengan teknik perkuatan intermiten dan pada saat dilaksanakannya
tindakan.
Alat yang digunakan peneliti dalam observasi atau
pengamatan ini ialah lembar daftar observasi yang berupa ceklis dari perilaku ketidakdisiplinan
siswa di sekolah dengan memberikan tanda (√ ) pada kategori penilaian. Kategori
penilaian ini adalah gambaran yang menunjukan situasi objek yang diamati atau
diteliti. Dalam penelitian ini, dilakukan observasi dan yang menjadi
observernya adalah guru/wali kelas siswa di SMA Negeri 3 Tanjung Raja.
3.9. Teknik
Analisa Data
Analisis data dalam suatu
penelitian ilmiah merupakan bagian yang sangat penting, karena dengan adanya
analisis data dan masalah dalam penelitian tersebut dapat diketahui jawabannya.
Dengan analisis data maka akan dapat membuktikan hipotesis dan menarik
kesimpulan tentang masalah yang diteliti. Analisis data ini
bertujuan untuk melihat apakah ada pengaruh layanan konseling kelompok melalui
pendekatan konseling behavioral dengan teknik pengondisian operan terhadap penerapan kedisiplinan sekolah pada
siswa. Oleh karena itu, angket kedisiplinan siswa yang digunakan dalam
penelitian ini akan dianalisis secara deskriptif dalam bentuk kuantitatif. Kemudian
data yang diperoleh dianalisis menggunakan visual
data dan grafik (Visual Analysis of
Graphic Data) serta hasilnya akan dianalisis menggunakan persentase (%).
Bedasarkan panjang kelas interval, maka interval kriterianya :
Tabel 2
Kategori Hasil Angket
Interval
|
Kategori
|
278-333
|
Sangat Tinggi
|
222-277
|
Tinggi
|
167-221
|
Sedang
|
111-166
|
Rendah
|
55-110
|
Sangat Rendah
|
Tabel 3
Kategori Persentase Kedisiplinan Siswa
Interval
|
Persentase
|
Kategori
|
278-333
|
>100%
|
Sangat Tinggi
|
222-277
|
71% - 80%
|
Tinggi
|
167-221
|
54% - 70%
|
Sedang
|
111-166
|
37% - 53%
|
Rendah
|
55-110
|
20% - 36%
|
Sangat Rendah
|
Sumber: Sugiyono (2013:137)
Keterangan
:
Dalam penelitian
ini target yang ingin dicapai oleh peneliti untuk menganggap bahwa peneliti ini
selesai dan berhasil, apabila hasil
persentase responden dari angket berada pada
kategori sangat rendah
ke kategori sangat
tinggi.
ANGKET KEDISIPLINAN SISWA
Nama :
Kelas :
Jenis Kelamin : L/P
PETUNJUK PENGISIAN
Sebelumnya
saya ucapkan terima kasih atas kesediaan anda untuk mengisi angket ini. Angket
ini bukan tes, oleh karena itu tidak ada jawaban benar atau salah. Seluruh
pernyataan dalam angket ini tidak mengandung unsur penilaian yang berpengaruh
pada nama baik, nilai maupun prestasi anda di sekolah, serta akan terjaga
kerahasiaannya.
Sebelum
mengisi angket ini, anda di mohon untuk memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
Pada angket yang ada, pilih dan berilah tanda chek (√ ) pada kolom jawaban yang
sudah tersedia. Keterangan:
SL = Selalu
SR = Sering
KD = Kadang-kadang
JR = Jarang
TP = Tidak
Pernah
Oleh karena itu saya berharap anda
bersedia untuk mengisi angket seluruhnya sesuai dengan keadaan anda / sesuai
dengan yang anda rasakan (bukan sesuai dengan apa yang anda inginkan). Atas
ketersediaan dan kejujuran anda dalam menjawab setiap pernyataan angket saya
ucapkan terima kasih.
NO
|
BUTIR
SOAL
|
JAWABAN
|
||||
SL
|
SR
|
KD
|
JR
|
TP
|
||
1
|
Saya sering membolos dari sekolah
|
|
||||
2
|
Saya datang ke sekolah tepat waktu
|
|
||||
3
|
Tidak memakai atribut seragam dengan lengkap
|
|
||||
4
|
Saya
suka membuang sampah di laci meja di kelas
|
|
||||
5
|
Saya selalu menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru di kelas
|
|
||||
6
|
Rambut saya dipotong sesuai dengan aturan sekolah
|
|
||||
7
|
Saya tidak masuk sekolah dikarenakan sakit atau kepentingan lainnya
|
|
||||
8
|
Saya kadang membujuk teman untuk minggat dari
sekolah disaat KBM (Kegiatan Belajar Mengajar)
|
|
||||
9
|
Ketika jam pelajaran sedang berlangsung saya sering keluar masuk kelas
|
|
||||
10
|
Jika ada jam kosong saya tetap berada di dalam kelas
|
|
||||
11
|
Saya pernah merokok di dalam kelas ketika guru tidak ada di kelas
|
|
||||
12
|
Saya sering minggat dari sekolah dan tidak kembali lagi pada saat KBM
(Kegiatan Belajar Mengajar)
|
|
||||
13
|
Ketika pelajaran sedang berlangsung saya tidak pernah memainkan HP di
dalam kelas
|
|
||||
14
|
Setiap kali saya meminjam buku di perpustakaan, saya tidak pernah
mengembalikan buku tersebut
|
|
||||
15
|
Saya tidak pernah memakai seragam
sekolah yang tidak rapi
|
|
||||
16
|
Saya
tidak suka berkelahi atau bermusuhan dengan teman di sekolah atau
di luar sekolah
|
|
||||
17
|
Ketika ke sekolah saya selalu membawa dan menyimpan senjata tajam di
dalam tas
|
|
||||
18
|
Ketika guru sedang menjelaskan materi pelajaran saya selalu
memperhatikannya
|
|
||||
19
|
Saya sering datang ke sekolah 15 menit setelah bel pelajaran dimulai
|
|
||||
20
|
Saya tidak pernah merokok di lingkungan sekolah
|
|
||||
21
|
Disaat
guru menjelaskan materi
pelajaran, saya gaduh atau ribut dengan teman-teman seperti
bergendang-gendang di dalam kelas
|
|
||||
22
|
Ketika saya merasa bosan dengan materi pelajaran yang disampaikan oleh
guru saya memilih untuk memainkan HP di dalam kelas
|
|
||||
23
|
Saya membuang sampah di tempat sampah
|
|
||||
24
|
Pakaian seragam yang saya kenakan sering kotor dan tidak rapi
|
|
||||
25
|
Saya pernah dipanggil oleh guru BK dikarenakan saya
bertengkar dengan teman sekelas
|
|
||||
26
|
Saya tidak pernah membawa senjata tajam ke sekolah
|
|
||||
27
|
Rambut saya disemir sesuai dengan warna kesukaan saya
|
|
||||
28
|
Ketika upacara bendera pada hari Senin, saya suka menunggu di kantin
sampe upacara selesai
|
|
||||
29
|
Saya selalu mengikuti upacara bendera setiap hari senin
|
|
||||
30
|
Saya terkadang tidak mengumpulkan tugas atau PR yang diberikan oleh guru
|
|
||||
31
|
Saya melaksanakan tugas piket dengan penuh tanggung jawab
|
|
||||
32
|
Saya suka membawa bacaan, gambar, atau VCD porno
|
|
|
|
|
|
33
|
Saya suka mengancam dan memeras teman-teman sekolah saya
|
|
|
|
|
|
34
|
Saya tidak pernah melakukan pencurian di lingkungan sekolah
|
|
|
|
|
|
35
|
Saya memakai seragam sekolah dengan atribut lengkap
|
|
|
|
|
|
36
|
Saya suka memakai kaos kaki warna-warni dan sepatu bukan warna hitam
|
|
|
|
|
|
37
|
Saya suka memakai gelang/kalung ke sekolah
|
|
|
|
|
|
38
|
Saya suka makan di kelas pada saat mengikuti pelajaran
|
|
|
|
|
|
39
|
Saya tidak pernah hadir dalam kegiatan ekstra kurikuler
|
|
|
|
|
|
40
|
Saya tidak mengikuti kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah
|
|
|
|
|
|
41
|
Saya makan makanan kecil tanpa sepengetahuan guru saat pelajaran
berlangsung
|
|
|
|
|
|
42
|
Saya sering memakai seragam sekolah yang tidak sesuai dengan hari yang
ditetapkan
|
|
|
|
|
|
43
|
Saya datang tepat waktu ketika ada kegiatan ekstra kurikuler
|
|
|
|
|
|
44
|
Saya tidak mau melaksanakan piket kelas
|
|
|
|
|
|
45
|
Saya membawa dan memakai Narkoba di dalam atau di luar lingkungan sekolah
|
|
|
|
|
|
46
|
Saya ke sekolah memakai sepatu warna hitam dan kaos kaki putih
|
|
|
|
|
|
47
|
Pakaian seragam sekolah saya sesuai dengan ketentuan yang berlaku di
sekolah
|
|
|
|
|
|
48
|
Saya tidak pernah memakai aksesoris (gelang/kalung) ke sekolah
|
|
|
|
|
|
49
|
Saya selalu bersikap baik dan sopan dengan teman-teman saya di sekolah
|
|
|
|
|
|
50
|
Saya pernah mengambil barang milik teman saya
|
|
|
|
|
|
51
|
Saya selalu mengembalikan buku yang saya pinjam di perpustakaan
|
|
|
|
|
|
52
|
Saya tidak pernah membawa buku, majalah
porno, CD, dan gambar porno di dalam HP ke sekolah
|
|
|
|
|
|
53
|
Saya tidak pernah memakai Narkoba di luar maupun
di dalam kelas
|
|
|
|
|
|
54
|
Saya senang mengikuti kegiatan-kegiatan bimbingan dan konseling yang ada
di sekolah
|
|
|
|
|
|
55
|
Rambut saya
selalu dibuat model/gaya serta diwarna warni atau dicat
|
|
|
|
|
|
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka
Cipta.
Asri, Ni Luh., Ni Ketut
Suarni, dan Dewi Arum WMP. 2014. Efektivitas Konseling Behavioral Dengan Teknik
Positive Reinforcement Untuk
Meningkatkan Rasa Percaya Diri Dalam Belajar Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri
Singaraja Tahun Pelajaran 2013/2014. http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CB8QFjAA&url=http%3A%2F%2Fejournal.undiksha.ac.id%2Findex.php%2FJJBK%2Farticle%2FviewFile%2F3649%2F2937&ei=yfHhVJi_Bo33yQSK8oCYCw&usg=AFQjCNEmbN-c20MHjNf9B_39JYOnP8S0RQ.
Diaksestanggal 16 Februari 2015.
Corey, Gerald. 2005. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung : Refika
Aditama.
Fajrin, Pratiwi. 2013.
Studi Deskriptif Pemahaman Kedisiplinan Dalam Menaati Tata Tertib Pada Siswa
Kelas VII Di SMP Negeri 1 Mandiraja Tahun Ajaran 2012/2013. http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0CCcQFjAB&url=http%3A%2F%2Feprints.utm.my%2F6576%2F4%2FShobaMFP2007CHAP1.pdf&ei=nJnTVILMNI6TuQSgsYKYCA&usg=AFQjCNEZShRbvmIY898neY28FRKzrSqSAQ.
Diakses tanggal 5 Februari 2015 .
Latipun.
2011. Psikologi Konseling. Malang :
Universitas Muhammadiyah Malang.
Palmer, Stephen. 2011. Konseling dan Psikoterapi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Prayitno. 2004. Layanan Bimbingan Kelompok Konseling Kelompok. Universitas Negeri
Padang.
Prayitno dan Amti E. 2008. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Sugiyono.2013.
Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif
dan R&D.Bandung : PT. Alfabeta.
Sukardi, Dewa Ketut. 2008. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Sulistyarini dan Jauhar Mohammad. 2014. Dasar-Dasar Konseling. Jakarta :
Prestasi Pustakaraya.
Sutoyo, Anwar. 2012. Pemahaman IndividuObservasi, Checklist, Interviu, Kuesioner dan
Sosiometri. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Widiastuti, Theresia Linneke. 2008. Hubungan
Antara Kedisiplinan Dengan Prestasi Belajar Siswa SMA Santo Bernardus
Pekalongan. Skripsi. Semarang:
Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata.
Willis, Sofyan. 2013. Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta.
No comments:
Post a Comment