Tuesday, 9 February 2016

Skripsi: Pengaruh Layanan Konseling Behavioral Dengan Teknik Perkuatan Intermiten Terhadap Kedisiplinan Siswa Pada Siswa “Y” di SMA Negeri 3 Tanjung Raja




USUL PENELITIAN MAHASISWA
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
Judul                : Pengaruh Layanan Konseling Behavioral Dengan Teknik Perkuatan Intermiten Terhadap Kedisiplinan Siswa Pada Siswa “Y” Kelas X IPA 2 di SMA Negeri 3 Tanjung Raja
Nama                    : Cici Pratami
Nim                       : 06111007033
Pembimbing         : 1.  Dr. Aisyah., A.R, M.Pd.                 
                                2.  Drs. Syarifuddin Gani, M.Si Kons.

I.       PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang
Pendidikan merupakan aset yang tak ternilai bagi individu dan masyarakat. Sekolah merupakan tempat kedua bagi seorang individu untuk memperoleh pendidikan setelah keluarga. Di sekolah individu tersebut disebut sebagai seorang siswa. Di sekolah juga terdapat beberapa peraturan dan tata tertib yang mengatur tingkah laku siswa. Dimana  siswa di sekolah harus mampu menaati segala peraturan dan tata tertib yang ada tersebut agar siswa dapat menjadi disiplin. Sekolah sebagai tempat untuk mendapatkan pendidikan selain di rumah, di sekolah individu akan mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat melalui bimbingan dan pengajaran yang diberikan oleh sekolah tersebut untuk bekal kehidupannya dimasa depan.
Nilai-nilai sangat penting ditanamkan dalam diri siswa karena nilai mendasari sikap dan perilaku siswa dalam kehidupannya di masyarakat. Nilai adalah ukuran baik-buruk, benar-salah, boleh-tidak boleh suatu perilaku seseorang atau pernyataan yang berlaku di dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat. Di sekolah nilai-nilai ini ditanamkan kepada siswa melalui sebuah aturan yang tercantum dalam tata tertib sekolah yang mengatur perilaku siswa di lingkungan sekolah. Tata tertib sekolah mencakup aspek keterlambatan, kehadiran, pakaian, kepribadian, ketertiban, senjata tajam/tawuran/narkoba, siswa wajib mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, pengembangan diri dan layanan bimbingan konseling. Untuk bisa mematuhi aturan-aturan yang terdapat dalam tata tertib diperlukannya sikap disiplin pada siswa. Kedisiplinan pada siswa penting untuk dipersiapkan dan dibina semenjak dini. Karena kedisiplinan itu sebagai bekal bagi anak untuk mengarungi kehidupannya demi masa depan anak.
Disiplin adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan ketertiban. Disiplin akan membuat seseorang tahu dan dapat membedakan hal-hal apa yang seharusnya dilakukan, yang wajib dilakukan, yang boleh dilakukan, yang tak sepatutnya dilakukan (karena merupakan hal-hal yang dilarang). Selaras dengan pengertian di atas, pengertian kedisiplinan lainnya adalah hal mentaati tata tertib di segala aspek kehidupan, baik agama, budaya, pergaulan, sekolah, dan lain-lain. Dengan kata lain, kedisiplinan merupakan kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku individu yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kesetiaan, keteraturan dan ketertiban. Berdasarkan dari kedua pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kedisiplinan adalah serangkaian perilaku individu yang menunjukkan ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan ketertiban sehingga individu tahu dan dapat membedakan hal-hal apa yang seharusnya dilakukan, yang wajib dilakukan, yang boleh dilakukan, yang tak sepatutnya dilakukan (karena merupakan hal-hal yang dilarang).
Dalam kenyataan yang sebenarnya di sekolah-sekolah siswa masih banyak yang melakukan pelanggaran-pelanggaran tata tertib sehingga kedisplinan belum tertanam dalam diri siswa. Kedisiplinan ini sangat penting ditanamkan dalam diri siswa karena dengan adanya kedisiplinan diharapkan siswa dapat mendisiplinkan diri dalam menaati peraturan sekolah sehingga proses belajar mengajar berjalan dengan lancar dan memudahkan pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, siswa di sekolah perlu di bimbing atau ditunjukkan mana perbuatan yang melanggar tata tertib dan mana perbuatan yang menunjang terlaksananya proses belajar mengajar dengan baik agar tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik. Dalam upaya menumbuhkembangkan kedisiplinan dalam diri siswa diperlukan adanya kerjasama dan bantuan dari semua pihak sekolah, termasuk salah satunya adalah guru Bimbingan dan Konseling. Guru Bimbingan dan Konseling bertugas untuk membimbing siswa agar siswa memiliki pemahaman dan memperbaiki perilaku siswa yang salah berkaitan dengan tata tertib sekolah dengan memberikan layanan-layanan bimbingan dan konseling. Menurut Sulistyarini dan jauhar (2014:23) dalam keseluruhan kegiatan pendidikan, khususnya pada tatanan persekolahan, layanan bimbingan dan konseling  mempunyai posisi dan peran yang cukup penting dan strategis. Bimbingan dan konseling berperan untuk memberikan layanan kepada siswa agar  dapat berkembang secara optimal melalui proses pembelajaran secara efektif.
Layanan konseling individual merupakan salah satu layanan bimbingan dan konseling yang dapat dilaksanakan oleh guru Bimbingan dan Konseling di sekolah untuk membantu siswa mengentaskan masalah pribadinya yang dilakukan dengan tatap muka secara langsung dimana dilaksanakan interaksi langsung antara siswa dan guru BK. Dalam pelaksanaan konseling individual ini juga dapat diterapkan pula pendekatan dan teknik-teknik konseling yang ada dalam bimbingan dan konseling. Secara profesional guru Bimbingan dan Konseling di sekolah dalam melaksanakan konseling individual terhadap siswa sebaiknya menerapkan pendekatan dan teknik-teknik tersebut dalam pelaksanaannya yang disesuaikan dengan permasalahan yang terjadi pada siswa. Dalam penilitian ini peneliti akan menggunakan pendekatan behavioral dalam konseling.
Pendekatan behavioral, yaitu pendekatan yang terpusat pada tingkah laku manusia. Perilaku yang dimiliki siswa yang dianggap bermasalah, yaitu perilaku yang didapat dari hasil belajar/hasil interaksi dengan lingkungan. Menurut  Krumboltz &  Thoresen  (Surya,  1988:187) pendekatan behavioral adalah suatu  proses  membantu  orang  untuk  belajar  memecahkan  masalah  interpersonal, emosional, dan keputusan tertentu.Pendekatan behavioristik membatasi perilaku sebagai fungsi interaksi antara pembawaan dengan lingkungan. Perilaku yang dapat diamati merupakan suatu kepedulian dari para konselor sebagai kriteria pengukuran keberhasilan konseling. Menurut pandangan ini manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar seperti yang dikemukakan oleh freud. Sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisipembentukan tingkah laku. Oleh karena itu, karakteristik pendekatan behavioral adalah berfokus pada tingkah laku y. Dalam pandangan pendekatan behavioral tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan. Dalam pelaksanaan konseling kelompok melalui pendekatan behavioral ini peneliti menggunakan teknik perkuatan intermiten. Menurut Ni Putu, Ni Ketut Suarni, dan Mudjijono (2012:3), Perkuatan intermiten adalah suatu penguatan yang diberikan setiap tingkah laku yang diinginkan muncul dan setelah frekuensi kemunculan perilaku yang diharapkan dapat meningkat maka penguatan akan dikurangi.
Berdasarkan pengamatan peneliti selama melaksanakan kegiatan Pelaksanaan Pengembangan dan Pengemasan Perangkat Pembelajaran (P4) di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Tanjung Raja, yaitu pada tanggal 2 Oktober sampai dengan 29 November 2014. Peneliti melihat di sekolah tersebut masih banyak terjadinya kasus pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh siswa-siswa. Perilaku siswa yang tidak disiplin tersebut, yaitu sering datang terlambat ke sekolah, sering keluar masuk kelas pada saat jam pelajaran, berpakaian tidak rapi, sering tidak mengikuti pelajaran di kelas, menyontek tugas teman, sering tidak mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, merokok, tidak memperhatikan penjelasan guru dikelas, berpakaian tidak rapi, memakai seragam tanpa atribut lengkap, tidak masuk sekolah tanpa alasan, dan lain-lain. Pelanggaran-pelanggaran itu terjadi dikarenakan pengaruh dari lingkungan. Hal itu dikarenakan tidak ada hukuman atau konsekuensi yang tegas dari sekolah bagi siswa yang melanggar kedisiplinan. Kemudian disekitar lingkungan sekolah ada salah satu rumah warga yang menyediakan fasilitas PS (Play Station) sehingga banyak siswa pada jam pelajaran kosong yang main PS (Play Station) di tempat tersebut. Terindikasi bahwa siswa melakukan pelanggaran disiplin. Dari permasalahan tersebut diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang pengaruh layanan konseling behavioral dengan teknik perkuatan intermiten terhadap kedisiplinan siswa  pada salah satu siswa di kelas X IPA 2. Dimana apabila dilihat dari daftar buku pelanggaran yang ada di sekolah siswa tersebut  melakukan pelanggaran di sekolah cenderung lebih banyak apabila dibandingkan dengan siswa lainnya. Perilaku tidak disiplin di sekolah yang ditunjukkan oleh siswa yang berinisial “Y” di kelas X IPA 2 yang berjenis kelamin laki-laki dilihat dari daftar buku pelanggaran yang ada di sekolah, yaitu seperti sering datang terlambat ke sekolah, sering keluar masuk kelas pada saat jam pelajaran, berpakaian tidak rapi, memainkan handpone pada saat jam pelajaran, sering tidak mengikuti pelajaran di kelas, menyontek tugas teman, sering tidak mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, pernah melawan guru, merokok, dan tidak memperhatikan penjelasan guru dikelas. Selanjutnya, berdasarkan hasil wawancara dengan guru bimbingan dan konseling yang ada di sekolah tersebut, terbukti bahwa siswa “Y” sering melakukan pelanggaran peraturan dan tata tertib sekolah. Perilaku-perilaku yang dilakukan oleh siswa tersebut sangat jelas merupakan bentuk perilaku yang telah melanggar peraturan dan tata tertib sekolah dikarenakan kurangnya kesadaran diri pada siswa sehingga tidak adanya sikap kedisiplinan pada siswa di sekolah tersebut. Apabila perilaku siswa tersebut terus dibiarkan maka akan berdampak buruk pada prestasi belajar mereka dan akan merugikan dirinya sendiri serta merugikan orang lain. Oleh karena itu, dalam konseling behavioral dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik perkuatan intermitten dimana tujuannya untuk merubah perilaku siswa yang tidak displin menjadi displin dan mempertahankan perilaku siswa yang telah terbentuk setelah perilaku yang diharapkan muncul. Kemudian peniliti juga berupaya untuk bisa membantu mengurangi perilaku pelanggaran peraturan dan tata tertib sekolah yang dilakukan oleh siswa dengan meningkatkan sikap kedisiplinan siswa melalui konseling behavioral dengan teknik perkuatan intermiten. Agar siswa disekolah ini dapat memiliki sikap disiplin dalam dirinya sehingga mereka menjadi pribadi yang taat akan peraturan dan tata tertib sekolah.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi masalah pada penelitian ini adalah “Apakah ada pengaruh layanan konseling behavioral dengan teknik perkuatan intermiten terhadap kedisiplinan siswa pada siswa “Y” kelas X IPA 2 di SMA Negeri 3 Tanjung Raja?”.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh layanan konseling behavioral dengan teknik perkuatan intermiten terhadap kedisiplinan siswa pada siswa “Y” kelas X IPA 2 di SMA Negeri 3 Tanjung Raja.
1.4. Manfaat Penelitian
          Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu:
1. Bagi guru bimbingan dan konseling Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Tanjung Raja, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi guru bimbingan dan konseling di SMA Negeri 3 Tanjung Raja untuk lebih meningkatkan keprofesionalannya dalam memberikan layanan konseling kepada siswa di sekolah. Dimana keprofesionalan guru bimbingan dan konseling tersebut meliputi 4 kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Selain itu juga, guru bimbingan dan konseling di SMA Negeri 3 Tanjung Raja dapat memanfaatkan hasil penilitian ini sebagai salah satu saran model layanan yang dapat digunakan dalam membantu siswa SMA yang melakukan pelanggaran aturan dan tata tertib sekolah agar kedisiplinan siswa dapat meningkat melalui kegiatan layanan konseling behavioral dengan teknik perkuatan intermiten yang disesuaikan dengan latar belakang masalah siswa.
2. Bagi Sekolah, diharapkan kepada kepala sekolah untuk memfasilitasi sarana/prasarana kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah, meningkatkan kualitas SDM, serta kemampuan guru bimbingan dan konseling di sekolah  untuk lebih mendukung dan mengembangkan pelaksanaan kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah.
3. Bagi peneliti, peniliti dapat mengetahui seberapa besar pengaruh layanan konseling behavioral dengan teknik perkuatan intermiten terhadap kedisiplinan siswa pada siswa “Y” kelas X IPA 2 di SMA Negeri 3 Tanjung Raja.
4. Bagi siswa, setelah mengikuti kegiatan layanan konseling behavioral melalui teknik perkuatan intermiten, siswa diharapkan dapat menerapkan perilaku disiplin dalam dirinya sehingga mereka memiliki kesadaran diri untuk melakukan disiplin dan menaati tata tertib sekolah sehingga mereka dapat merubah tingkah lakunya menjadi lebih disiplin.
























II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konseling Behavioral
2.1.1. Pengertian Konseling Behavioral
Menurut Willis (2013:69) dalam terapi behavioral, perilaku dipandang sebagai respon terhadap stimulasi atau perangsangan eksternal dan internal. Karena itu tujuan terapi adalah untuk memodifikasi koneksi-koneksi dan metode-metode Stimulus-Respon (S-R) sedapat mungkin. Kontribusi terbesar dari konseling behavioral (perilaku) adalah diperkenalkannya metode ilmiah dibidang psikoterapi. Yaitu bagaimana memodifikasi perilaku melalui rekayasa lingkungan sehingga terjadi proses belajar untuk perubahan perilaku.
Menurut Corey (2005:193-194) pendekatan behavioral atau terapi tingkah laku adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Terapi ini menyertakan penerapan yang sistematis prinsip-prinsip belajar pada pengubahan tingkah laku ke arah cara-cara yang lebih adatif. Pendekatan ini, telah memberikan sumbangan-sumbangan yang berarti, baik pada bidang-bidang klinis maupun pendidikan. Berlandaskan teori belajar, modifikasi tingkah laku dan terapi tingkah laku adalah pendekatan-pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi yang berurusan dengan pengubahan tingkah laku. Salah satu aspek yang paling penting dari gerakan modifikasi tingkah laku adalah penekanannya pada tingkah laku yang bisa didefinisikan secara operasional, diamati, dan diukur. Tingkah laku, bukan konstruk-konstruk yang tak bisa diukur yang vital bagi pendekatan-pendekatan psikodinamik, adalah fokus perhatian terapeutik. Perubahan tingkah laku sebagai kriteria yang spesifik memberikan kemungkinan bagi evaluasi langsung atas keberhasilan kerja dan kecepatan bergerak ke arah tujuan-tujuan terapeutik yang bisa dispesifikasi dengan jelas. Bahwa pertumbuhan terapi tingkah laku ditunjukkan oleh banyaknya penelitian yang dilaksanakan adalah ciri lain dari gerakan ini.
Menurut Latipun (2011:84) dilihat dari sejarahnya, konseling behavioral tidak dapat dipisahkan dengan riset-riset perilaku belajar pada binatang, sebagaimana yang dilakukan Ivan Pavlov (abad ke 19) dengan teorinya classical conditioning. Teori belajar itu menjadi mantap untuk diterapkan ke perilaku manusia setelah behaviorisme yang dipelopori oleh psikolog Amerika, J.B. Watson melakukan riset terhadap anak yang bernama Albert dan publikasi artikelnya “Psychology as the behaviorist views it”. Sejalan dengan pendekatan yanng digunakan dalam teori behavioral, konseling behavioral menaruh perhatian pada upaya perubahan perilaku.
Menurut Palmer (2011:53) pendekatan behavioral atau terapi perilaku bertujuan untuk mengubah perilaku manusia yang bisa diamati dan bisa diukur. Perubahan-perubahan itu dipilih oleh terapis bersama dengan kliennya. Karena pendekatan ini bertujuan melihat perubahan perilaku, beberapa problem lebih cocok dilakukan terapi perilaku daripada terapi lainnya. Terapis bersikap direktif, memberi klien petunjuk yang jelas tentang yang harus dilakukan agar bisa menghasilkan perubahan. Petunjuk itu dipandu oleh kajian agar bisa menghasilkan perubahan. Petunjuk itu dipandu oleh kajian terapis secara detail. Kajian itu mempertimbangkan tiga bidang utama: faktor-faktor yang segera mengawali masalah, perilaku bermasalah itu sendiri, dan konsekuensi perilaku itu bagi klien (dan juga orang-orang disekitarnya).
Menurut Sulistyarini dan jauhar (2014:199) dalam pendekatan behavioral tingkah laku tertentu pada individu dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidakpuasan yang diperolehnya. Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan hasil belajar, sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku.
   Dari pendapat diatas peneliti menyimpulkan bahwa konseling behavioral merupakan salah satu pendekatan dalam konseling yang berfokus pada perilaku manusia dimana dalam penerapannya berlandaskan pada teori belajar behaviorisme yang bertujuan untuk mengubah perilaku manusia yang bisa diamati dan diukur kearah cara-cara yang adatif dengan cara memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku.
2.1.2. Konsep Dasar dan Karakteristik Konseling Behavioral
Manusia adalah mahluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor dari luar.Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian.Pandangan tentang manusia sendiri dalam konseling behavioral, yaitu:1.) Respon tidak selalu ditimbulkan oleh stimulus, akan tetapi lebih kuat oleh penguatan (reinforcement); 2.) Lebih menenkankan pada studi objek individual dibandingkan generalisasi kecenderungan kelompok; 3.) Menekankan pada penciptaan situasi tertentu terhadap terbentukknya perilaku dibandingkan motivasi dalam diri.
Kemudian ciri-ciri daripendekatan behavioral tersebut dapat diuraikan dalam (http://bkfkipuhamka.com/index.php?option=com_content&view=article&id=74:konseling-behavioristik&catid=45:karya-mahasiswa&Itemid=82) sebagai berikut:
1.    Kebanyakan perilaku manusia dapat dipelajari dan karena itu dapat dirubah.
2.    Perubahan-perubahan  khusus  terhadap  lingkungan  individual  dapat membantu  dalam  merubah  perilaku-perilaku  yang  relevan;  prosedur-prosedur  konseling  berusaha  membawa  perubahan-perubahan  yang relevan dalam perilaku konseli dengan merubah lingkungan.
3.    Prinsip-prinsip  belajar  sosial,  seperti misalnya  “reinforcement”  dan  “social modeling”,  dapat  digunakan  untuk  mengembangkan  prosedur-prosedur konseling.
4.    Keefektifan konseling dan hasil konseling dinilai dari perubahan-perubahan dalam perilaku-perilaku khusus konseli diluar dari layanan  konseling yang diberikan.
5.    Prosedur-prosedur  konseling  tidak  statik,  tetap,  atau  ditentukan sebelumnya,  tetapi  dapat  secara  khusus  didisain  untuk  membantu  konseli dalam memecahkan masalah khusus.
        Konseling behavioristik membatasi perilaku sebagai fungsi interaksi antara pembawaan dengan lingkungan. Perilaku yang dapat diamati merupakan suatu kepedulian dari para konselor sebagai kriteria pengukuran keberhasilan konseling. Menurut pandangan ini manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar seperti yang dikemukakan oleh freud. Sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku. Karakteristik konseling behavioral adalah :
a.    Berfokus pada tingkah laku yang tampak dan spesifik..
b.    Memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan konseling.
c.    Mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah klien.
d.   Penilaian yang obyektif terhadap tujuan konseling.
2.1.3. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah                        
       Karakteristik Perilaku Bermasalah. Perilaku bermasalah dalam pandangan behaviorist dapat dimaknakan sebagai perilaku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau perilaku yang tidak tepat, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Perilaku yang salah penyesuaian terbentuk melalui proses interaksi dengan lingkungannya. Behaviorist memandang perilaku yang bermasalah adalah sebagai berikut: a. Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau tingkah laku yang tidak tepat yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan. b. Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentuk dari cara belajar atau lingkungan yang salah. c. Manusia yang bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari lingkungannya. Tingkah laku maladaptif terjadi juga karena kesalahpahaman dalam menanggapi lingkungan dengan tepat. d. Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar da juga tingkah laku tersebut juga dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar.

2.1.4. Tujuan Konseling
    Berdasarkan karakteristik koseling behavioral yang telah dijelaskan di atas terlihat sangat jelas bahwa konseling behavioral secara konsisten menaruh perhatian pada perilaku yang tampak. Perilaku yang tidak tampak dan bersifat umum harus dirumuskan menjadi lebih spesifik. Tujuan konseling harus cermat, jelas dan dapat dicapai dengan prosedur tertentu. Berangkat dari uraian tersebut secara singkat dapat dipahami bahwa tujuan konseling behavior menurut Latipun (2011:90) adalah mencapai kehidupan tanpa mengalami perilaku simtomatik, yaitu kehidupan tanpa mengalami kesulitan atau hambatan perilaku, yang dapat membuat ketidakpuasan dalam jangka panjang dan/atau mengalami konflik dengan kehidupan sosial. Kemudian secara khusus, tujuan konseling behavioral mengubah perilaku salah dalam penyesuaian dengan cara-cara memperkuat perilaku yang diharapkan, dan meniadakan perilaku yang tidak diharapkan serta membantu menemukan cara-cara berperilaku yang tepat.
    Selaras dengan pendapat yang telah diuraiakan di atas menurut Sulistyarini dan jauhar (2014:200) dalam bukunya menjelaskan bahwa tujuan konseling adalah untuk menghapus/menghilangkan tingkah laku maladatif (masalah) untuk digantikan dengan tingkah laku baru yaitu tingkah laku adatif yang diinnginkan klien. Tujuan yang sifatnya umum harus dijabarkan ke dalam perilaku yang spesifik, yakni:
(a)      Diinginkan oleh klien.
(b)     Konselor mampu dan bersedia membantu mencapai tujuan tersebut.
(c)      Klien dapat mencapai tujuan tersebut.
(d)     Dirumuskan secara spesifik. Konselor dan klien bersama-sama (bekerja sama) menetapkan/merumuskan tujuan khusus konseling.
2.1.5. Prinsip Kerja Teknik Konseling Behavioral
    Dalam konseling behavioral perlu diperhatikan prinsip kerja teknik konseling behavioral tersebut. MenurutSulistyarini dan jauhar (2014:202) dapat dijelaskan bahwa prinsip kerja teknik konseling behavioral, antara lain:
1.    Memodifikasi tingkah laku dengan memberikan penguatan. Agar klien terdorong untuk mengubah tingkah lakunya, penguatan tersebut hendaknya mempunyai daya yang cukup kuat dan dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata ditampilkan melalui tingkah laku klien.
2.    Mengurangi frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak diinginkan.
3.    Memberikan penguatan terhadap suatu respons yang akan mengakibatkan terhambatnya kemunculan tingkah laku yang tidak diinginkan.
4.    Mengondisikan perubahan tingkah laku melalui pemberian contoh atau model (film, tape recorder, atau nyata langsung).
5.    Merencanakan prosedur pemberian penguatan terhadap tingkah laku yang diinginkan dengan sistem kontrak. Penguatannya dapat berbentuk ganjaran yang berbentuk materi maupun keuntungan sosial.

2.1.6. Tahap-Tahap Konseling
                        Berbicara tentang langkah-langkah dasar/tahap-tahap dalam proses konselingditemukan sejumlah bagian yang berbeda-beda. Mengapa identifikasi ini dilakukan adalah untuk mengajarkan ketrampilan-ketrampilan konseling. Menurut Sulistyarini dan jauhar (2014:201) walaupun pembagiannya berbeda-beda dapat ditemukan lima tahap pokok, yakni :
a)   Assesment, langkah awal yang bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika perkembangan klien (untuk mengungkapkan kesuksesan dan kegagalannya, kekuatan dan kelemahannya, pola hubungan interpersonal, tingkah laku penyesuaian, dan area masalahnya) Konselor mendorong klien untuk mengemukakan keadaan yang benar-benar dialaminya pada waktu itu. Assesment diperlukan untuk mengidentifikasi motode atau teknik mana yang akan dipilih sesuai dengan tingkah laku yang ingin diubah.
b)   Goal setting, yaitu langkah untuk merumuskan tujuan konseling. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari langkah assessment konselor dan klien menyusun dan merumuskan tujuan yang ingin dicapai dalam konseling. Perumusan tujuan konseling dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : (a) Konselor dan klien mendifinisikan masalah yang dihadapi klien; (b) Klien mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki sebagai hasil konseling; (c) Konselor dan klien mendiskusikan tujuan yang telah ditetapkan klien : (a) apakah merupakan tujuan yang benar-benar dimiliki dan diinginkan klien; (b) apakah tujuan itu realistik; (c) kemungkinan manfaatnya; dan (d) kemungkinan kerugiannya; (e) Konselor dan klien membuat keputusan apakahmelanjutkan konseling dengan menetapkan teknik yang akan dilaksanakan, mempertimbangkan kembali tujuan yang akan dicapai, atau melakukan referal.
c)    Technique implementation, yaitu menentukan dan melaksanakan teknik konseling yang digunakan untuk mencapai tingkah laku yang diinginkan yang menjadi tujuan konseling.
d)   Evaluation termination, yaitu melakukan kegiatan penilaian apakah kegiatan konseling yang telah dilaksanakan mengarah dan mencapai hasil sesuai dengan tujuan konseling.
e)    Feedback, yaitu memberikan dan menganalisis umpan balik untuk memperbaiki dan meingkatkan proses konseling.


        Dalam (misscounseling.blogspot.com/2011/04/pendekatan-behavior.html) dapat dijelaskan secara rinci tahap-tahap dalam konseling behavioral, yaitu:
Tahap
Indikator
Assesment
a.    Mempersilahkan konseli untuk menceritakan masalahnya
b.    Mengidentifikasi perilaku bermasalah
c.    Mengklarifikasi perilaku yang bermasalah
d.   Mengidentifikasi peristiwa yang mengawali perilaku bermasalah.
e.    Mengidentifikasi perilaku yang menyertai perilaku bermasalah.
f.Mengidentifikasi intensitas perilaku bermasalah.
g.    Mengidentifikasi perasaan konseli pada saat  menceritakan perilaku bermasalah.
h.    Merangkum pembicaraan konseli.
i. Menentukan inti masalah
j. Mengidentifikasi hal – hal yang menarik dalam kehidupan konseli.
k.    Memberikan motivasi pada konseli.
l. Mengidentifikasi hubungan sosila dari konseli
Goal Setting
a.   Mengungkapkan kembali pernyataan konseli tentang tujuan yang igin dicapai.
b.   Mempertegas tujuan yang ingin dicapai.
c.   Memberikan kepercayaan dan menyakinkan konseli bahwa konselor benar – benar ingin membantu konseli mencapai tujuan.
d.  Membantu konseli memandang masalahnnya dengan memperhatikan hambatan yang dihadapi untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai.
e. Merinci tujuan menjadi sub tujuan yang berurutan dan operasional.
Teknik Implementasi
a.   Menentukan teknik konseling yang sesuai dengan masalah konseli dan tujuan konseling.
b.   Menyusun prosedur perlakuan sesuai dengan tekhnik yang ditetapkan.
c.   Melaksanakan prosedur perlakuan sesuai dengan teknik yang ditetapkan.
d.  Melaksanakan prosedur perlakuan sesuai dengan teknik yang ditetapkan.
Evaluasi – Terminasi
a.    Menanyakan dan mengevaluasi apa yang dilakukan konseli setelah diberi treatmen.
b.    Membantu konseli mentransfer apa yang dipelajari dalam konseling ke tingkah laku konseling.
c.    Mengeksplorasi kemungkinan kebutuhan konseli tambahan.
d.   Menyimpulkan apa yang telaah dialukakn dan dikatakan konseli.
e.    Memberikan tugas- tugas yang harus dilakukan pada pertemuan selanjutnya.
f.     Mengakhiri proses konseling

2.1.7. Prosedur Konseling
               Menurut Latipun (2011:91) dalam bukunya menerangkan bahwa untuk para ahli behavioris, konseling dilakukan dengan menggunakan prosedur yang bervariasi dan sistematis yang disengaja secara khusus untuk mengubah perilaku dalam batas-batas tujuan yang disusun secara bersama-sama konselor dan klien. Tokoh ahli psikologi behavioral John D. Krumboltz dan Carl Thoresen (Gibson dan Mitchell, 1981) menempatkan prosedur belajar dalam empat kategori, sebagai berikut.
1.    Belajar operan (operant learning), yaitu belajar didasarkan atas perlunya pemberian ganjaran (reinforcement) untuk menghasilkan perubahan perilaku yang diharapkan. Ganjaran dapat diberikan dalam bentuk dorongan dan penerimaan sebagai persetujuan, pembenaran atau perhatian konselor terhadap perilaku yang dilakukan klien.
2.    Belajar mencontoh (imitative learning), yaitu cara dalam memberikan respon baru melalui menunjukkan atau mengerjakan model-model perilaku yang diinginkan sehingga dapat dilakukan oleh klien.
3.    Belajar kognitif (cognitive learning), yaitu belajar memelihara respon yang diharapkan dan boleh mengadaptasi perilaku yang lebih baik melalui instruksi sederhana.
4.    Belajar emosi (emotional learning), yaitu  cara yang digunakan untuk mengganti respon-respon emosional klien yang tidak dapat diterima menjadi respon emosional yang dapat diterima sesuai dengan konteks classical conditioning.

2.1.8. Peranan Konselor
        Konselor behavioral memiliki peran yang sangat penting dalam membantu klien. Wolpe mengemukakan peran yang harus dilakukan konselor, yaitu bersikap menerima, mencoba memahami klien dan apa yang dikemukakan tanpa menilai atau mengkritiknya.
      Dalam hal ini menciptakan iklim yang baik adalah sangat penting untuk mempermudah melakukan modifikasi perilaku. Konselor lebih berperan sebagai guru yang membantu klien melakukan teknik-teknik modifikasi perilaku yang sesuai dengan masalah, tujuan yang hendak dicapai.
    Konselor dalam pendekatan konseling behavioral adalah aktif dan direktif, dan berfungsi sebagai konsultan dan problem solvers. Konselor behavioral berperan sebagai guru, pengarah, dan ahli yang membantu konseli dalam mendiagnosis dan melakukan teknik-teknik modifikasi perilaku yang sesuai dengan masalah dan tujuan yang diharapkan, sehingga mengarah pada tingkah laku yang baru dan adjustive. Konselor harus dapat menjadi model bagi konseli, karena salah satu hal mendasar dalam pendekatan ini adalah bagaimana konseli belajar perilaku baru dengan imitasi. Yang harus diperhatikan oleh konselor dalam proses konseling behavior adalah:
1.    Mengaplikasikan  prinsip  dari  mempelajari  manusia  untuk  memberi fasilitas  pada    penggantian  perilaku  maladaptif  dengan  perilaku  yang  lebih adaptif.
2.    Menyediakan sarana untuk mencapai sasaran konseli, dengan membebaskan  seseorang dari  perilaku yang  mengganggu  kehidupan  yang efektif sesuai dengan nilai demokrasi tentang hak individu untuk bebas mengejar sasaran yang dikehendaki  sepanjang sasaran itu  sesuai  dengan  kebaikan masyarakat secara umum.

2.1.9. Teknik-Teknik Konseling
        Didalam konseling behavioral terdapat berbagai macam bentuk teknik yang dapat digunakan dalam proses konseling. Seperti yang dipaparkan dalam (misscounseling.blogspot.com/2011/04/pendekatan-behavior.html) bahwa teknik-teknik tersebut yang disampaikan para ahli, yaitu:
1. Latipun (2008: 141-144), menyatakan terdapat beberapa teknik spesifik dalam konseling behavior, yakni sebagai berikut:
a.   Desensitisasi sistematis, merupakan teknik relaksasi yang digunakan untuk menghapus perilaku yang diperkuat secara negative biasanya berupa kecemasan, dan ia menyertakan respon berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan.
b.  Terapi impolsif, dikembangkan berdasarkan atas asumsi bahwa seseorang yang secara berulang-ulang dihadapkan pada suatu situasi penghasil kecemasan dan konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan ternyata tidak muncul, maka kecemasan akan menghilang.
c.   Latihan perilaku asertif, latihan asertif digunakan untuk melatih individu yang mengalami kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar.
d.   Pengkondisian aversi, dilakukan untuk meredakan perilaku simptopatik dengan cara menyajikan stimulus yang tidak menyenangkan (menyakitkan) sehingga perilaku yang tidak dikehendaki tersebut terhambat kemunculannya.
e.   Pembentukan perilaku model, digunakan untuk: (1) membentuk perilaku baru klien, (2) memperkuat perilaku yang sudah terbentuk.
f.   Kontrak perilaku, didasarkan atas pandangan bahwa membantu klien untuk membentuk perilaku tertentu yang diinginkan dan memperoleh ganjaran tertentu sesuai dengan kontrak yang disepakati.

2. Corey (2007: 212), menyatakan teknik-teknik utama terapi tingkahlaku yaitu:
a. Desensitisasi sistematik
Desensitisasi sistematik digunakan untuk menghapus tingkahlaku yang diperkuat secara negatif, dan ia menyertakan pemunculan tingkahlaku atau respons yang berlawanan dengan tingkahlaku yang hendak dihapuskan itu. 
b. Terapi impolsif dan pembanjiran
Teknik ini terdiri atas pemunculan stimulus berkondisi secara secara berulang-ulang tanpa pemberian perkuatan.
c.  Latihan asertif
d. Terapi aversi
e. Pengkondisian operan
f. Perkuatan positif
Pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkahlaku yang diharapkan muncul adalah suatu cara yang ampuh untuk mengubah tingkahlaku.
g.Pembentukan respon
Dalam pembentukan respons, tingkahlaku sekarang secara bertahap diubah dengan memperkuat unsur-unsur kecil dari tingkahlaku baru yang diinginkan secara berturut-turut sampai mendekati tingkahlaku akhir.
h.Perkuatan intermiten
i. Penghapusan
Apabila suatu respon terus-menerus dibuat tanpa perkuatan, maka respons tersebut cenderung menghilang.
j.Percontohan
Dalam percontohan, individu mengamati seorang model dan kemudian diperkuat untuk mencontoh tingkahlaku sang model.
k.Token economy
Metode token economy dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku apabila persetujuan dan pemerkuat-pemerkuat yang tidak bisa diraba lainnya tidak memberikan pengaruh.

3. Hendrarno, dkk (2003: 115-119), menyatakan bahwa teknik-teknik konseling di dalam pendekatan ini terdiri dari dua metode yaitu metode pengkondisian klasik dan pengkondisian operan. Berikut teknik spesifiknya:
a. Desensitisasi sistematik, digunakan untuk menghapus tingkahlaku yang diperkuat secara negative dan ia menyertakan pemunculan tingkah laku atau respon yang berlawanan dengan tingkahlaku yang hendak dihapus itu.
b. Latiihan asertif, merupakan latihan mempertahankan diri akibat perlakuan orang lain yang menimbulkan kecemasan.
c. Terapi aversi, digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien agar mengganti respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut.
d. Perkuatan positif, pembentukan suatu pola tingkahlaku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul adalah suatu cara ampuh untuk mengubah tingkahlaku.
e. Pembentukan respon, dalam pembentukan respon tingkahlaku sekarang secara bertahap diubah dengan memperkuat unsure-unsur kecil dari tingkahlaku baru yang diinginkan secara berturut-turut sampai mendekati tingkahlaku akhir.
f. Perkuatan intermiten, dalam menerapkan pemberian perkuatan pada pengubahan tingkahlaku, pada tahap-tahap permulaan terapis harus mengajar setiap terjadi munculnya tingkahlaku yang diinginkan.
g. Penghapusan, apabila suatu respon terus menerus dibuat tanpa perkuatan, maka respons tersebut cenderung hilang.
h. Imitation atau modeling, dalam percontohan individu mengamati seorang model dan kemudian diperkuat untuk mencontoh tingkahlaku seorang model.
i. Token ekonomi, merupakan salah satu contoh dari perkuatan ekstrinsik, yang menjadikan orang-orang melakukan sesuatu untuk meraih “pemikat di ujung tongkat”.
j. Sexual training, dipergunakan untuk menghilangkan kecemasan yang timbul akibat pergaulan dengan jenis kelamin lain.
k. Convert sensitization, digunakan untuk merawat tingkahlaku yang menyenangkan klien tapi menyimpang, seperti homosex, alcoholism.
l. Thought stopping, digunakan bagi klien yang sangat cemas.

    Berdasarkan tiga pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan behavioris memiliki banyak teknik spesifik yakni sebagai berikut:
1. Desensitisasi sistematik
2. Latihan asertif
3. Terapi impolsif dan pembanjiran
4. Pembentukan perilaku model
5. Kontrak perilaku
6. Terapi aversi
7. Pengkondisian operan
8. Pembentukan respon
9. Perkuatan positif
10. Perkuatan intermiten
11. Penghapusan
12. Token ekonomi
13. Sexual training
14. Thought stopping
2.1.10. Kelebihan Dan Kekurangan Behavioral
Ø  Kelebihan konseling Behavioral adalah :
  • Dengan memfokuskan pada perilaku khusus bahwa klien dapat berubah, konselor dapat membantu klien kea rah pengertian yang lebih baik terhadap apa yang harus dilakukan sebagai bagian dari proses konseling.
  • Dengan menitikberatkan pada tingkah laku khusus, memudahkan dalam menentukan kriteria keberhasilan proses konseling
  • Memberikan peluang pada konselor untuk dapat menggunakan berbagai teknik khusus guna menghasilkan perubahan perilaku.
Ø  Kekurangan Konseling Behavioral adalah :
·           Kurangnya kesempatan bagi klien untuk terlibat kreatif dengan keseluruhan penemuan diri atau aktualisasi diri.
·           Kemungkinan terjadi bahwa klien mengalami “depersonalized” dalam interaksinya dengan konselor.
·           Keseluruhan proses mungkin tidak dapat digunakan bagi klien yang memiliki permasalahan yang tidak dapat dikaitkan dengan tingkah laku yang jelas.
·      Bagi klien yang berpotensi cukup tinggi dan sedang mencari arti dan tujuan hidup mereka, tidak dapat berharap banyak dari konseling behavioral.

2.2. Teknik Perkuatan Intermiten
2.2.1. Pengertian Teknik Perkuatan Intermiten
       Menurut Corey (terjemahan Koswara, 2005:220) di dalam bukunya menjelaskan bahwa teknik perkuatan intermiten ini merupakan salah satu metode yang ada dalam teknik pengondisian operan. Dimana di dalam teknik perkuatan intermiten di samping membentuk perkuatan-perkuatan bisa juga digunakan untuk memelihara tingkah laku yang telah terbentuk. Untuk memaksimalkan nilai pemerkuat-pemerkuat, terapis harus memahami kondisi-kondisi umum dimana perkuatan-perkuatan muncul. Oleh karenanya, jadwal-jadwal perkuatan merupakan hal yang penting. Perkuatan terus-menerus mengganjar tingkah laku setiap kali ia muncul. Sedangkan perkuatan intermiten diberikan secara bervariasi kepada tingkah laku yang spesifik.
      Menurut Indrayani, dkk (dalam Fejournal Undiksha, 2013) perkuatan intermiten adalah suatu penguatan yang diberikan setiap tingkah laku yang diinginkan muncul dan setelah frekuensi kemunculan perilaku yang diharapkan dapat meningkat maka penguatan akan dikurangi. Penguatan tidak diberikan secara terus menerus seperti halnya dengan penguatan positif. Perkuatan intermiten diberikan sewaktu-waktu saja dengan melihat tingkat pencapaian siswa. Pada dasarnya perkuatan intermiten dipergunakan untuk memelihara tingkah laku yang telah terbentuk.
       Perkuatan intermiten adalah penguatan secara terputus atau berjarak untuk mempertahankan tingkah laku. Untuk maksud ini harus dibuat jadwal penguatan (reinforcement schedule). Jadwal dibuat berdasarkan respon dan interval munculnya tingkah laku baik secara kontinyu, periodik atau bervariasi dalam frekuensi penguatan. Misalnya berdasarkan Respons Tingkah Laku – Frekuensi Bervariasi maka jika seorang anak Retardasi Mental berhasil menamakan suatu benda (respon Tingkah Laku) maka dapat atau tidak (frekuensi bervariasi) diberikan reward. Perkuatan intermiten untuk meningkatkan dan atau mempertahankan tingkah laku memakai prinsip ini juga bila diterapkan untuk menurunkan frekuensi tingkah laku yang tidak diinginkan. Dikutip dari (http://psikiatri-fds.blogspot.com/2012/03/v-behaviorurldefaultvmlo_12.html).
      Perkuatan intermiten, diberikan secara bervariasi kepada tingkah laku yang spesifik. Tingkah laku yang dikondisikan oleh perkuatan intermiten pada umumnya lebih tahan terhadap penghapusan dibanding dengan tingkah laku yang dikondisikan melalui pemberian perkuatan yang terus-menerus. Dalam menerapkan pemberian perkuatan pada pengubahan tingkah laku, pada tahap-tahap permulaan terapis harus mengganjar setiap terjadi munculnya tingkah laku yang diinginkan, sesegera mungkin saat tingkah laku yang diinginkan muncul. Dengan cara ini, penerima perkuatan akan belajar, tingkah laku spesifik apa yang diganjar. Bagaimanapun, setelah tingkah laku yang diinginkan itu meningkat frekuensi kemunculannya, frekuensi pemberian perkuatan bisa dikurangi. Dikutip dari (http://sandri09a.blogspot.com/2012/03/terapi-perilaku-psikoterapi.html/).
      Dikutip dari (https://lutfifauzan.wordpress.com/2009/12/01/teknik-reinforcement-dalam-konseling), perkuatan intermiten (Intermittent Reinforcement) adalah pemeliharaan perilaku dengan memberikan reinforcer sewaktu – waktu daripada memberikannya setiap saat perilaku muncul.
      Dari pendapat diatas peneliti menyimpulkan bahwa teknik perkuatan intermiten merupakan salah satu metode yang ada dalam teknik pengondisian operan dalam konseling behavioral dimana penguatan diberikanuntuk memelihara tingkah laku yang telah terbentuk dengan cara mengganjar setiap kali tingkah laku yang diharapkan muncul dan penguatan tersebut tidak diberikan secara terus menerus melainkan diberikan sewaktu-waktu saja dengan melihat tingkat pencapaian siswa, maka pada saat pengubahan tingkah laku pada tahap-tahap awal guru bimbingan dan konseling mengganjar setiap terjadi munculnya tingkah laku yang diinginkan pada siswa.
2.2.2. Jadwal-Jadwal Perkuatan Intermiten
      Perkuatan intermiten tidak diberikan secara terus menerus melainkan diberikan pada waktu-waktu tertentu saja sesuai dengan pencapaian tingkah laku siswa. Oleh karena itu, harus dibuat jadwal penguatan (reinforcement schedule). Jadwal dibuat berdasarkan respon dan interval munculnya tingkah laku baik secara kontinyu, periodik atau bervariasi dalam frekuensi penguatan.Berdasarkan yang telah di kutip dari (http://psikiatri-fds.blogspot.com/2012/03/v-behaviorurldefaultvmlo_12.html) untuk meningkatkan dan mempertahankan TL dipakai jadwal (schedule):
Ø  Fixed Ratio Schedule: Penguatan terjadi setelah pasien melakukan sekelompok respons TL tertentu yang diharapkan.
Ø  Variable Ratio Schedule : Penguatan terjadi pada jumlah respon TL yang bervariasi.
Ø  Fixed-Interval Schedule : Penguatan diberi setelah periode interval tertentu.
Ø  Fixed Interval with Limited Hold Schedule : Penguatan diberikan         setelah interval periodik dan durasi tertentu dari respon TL diharapkan.
Ø  Variable Interval Schedule : Penguatan diberikan tanpa memperhatikan interval pemunculan respon TL sekarang dan sebelumnya.
Ø  Variable Interval with Limited Hold Schedule : Penguatan tetap diberikan dengan variasi interval pemunculan dan durasi melakukan TL ditetapkan.
Ø  Fixed Duration Schedule : Penguatan diberikan bila respons TL berlangsung dalam durasi waktu tertentu.
Ø  Variable Duration Schedule : Penguatan tetap diberikan walaupun durasi berlangsungnya TL bervariasi.
Sedangkan untuk menurunkan atau menghilangkan TL dipakai :
Ø Differential Reinforcement of Low Rates : Penguatan diberi bila respons TL menjadi sangat rendah frekuensinya. Pada full session, penguatan diberi pada akhir pengamatan, pada intervally penguatan diberi pada interval-interval tertentu sepanjang observasi dan pada space, mirip interval, diberlakukan pada TL yang diinginkan tapi berlangsung terlalu sering.
Ø Differential Reinforcement of Zero Responding : Penguatan diberi bila tidak muncul respons TL yang dikehendaki baik full session, intervally ataupun space.
Ø Differential Reinforcement of Incompatible Responding : Penguatan diberi bila respons TL yang ingin dihilangkan diganti dengan TL yang bersaing.

2.2.3. Jenis-Jenis Perkuatan Intermiten
       Menurut Indrayani, dkk (dalam Fejournal Undiksha, 2013) di dalam teknik perkuatan intermiten terdapat berbagai jenis penguatan intermiten diantaranya penguatan interval tetap (fixed interval reinforcement), interval yang tidak tetap (variable interval schedule), (fixed ratio reinforcement), jadwal rasio variabel (variabel ratio schedule).
      Penguatan yang diberikan dapat berbentuk verbal dan non verbal. Dimana penguatan verbal berupa kata-kata pujian, dukungan, dorongan yang digunakan untuk menguatkan tingkah laku dan penampilan komunikan. Kata-kata yang bisa diguanakan seperti: bagus, ya, benar, tepat, bagus sekali, betul, dan sebagainya. Atau dalam bentuk kalimat seperti: saya senang dengan pekerjaanmu, saya gembira mendengar usahamu, dan sebagainya. Sedangkan penguatan non verbal adalah penguatan berupa mimik dan gerakan-gerakan badan seperti, senyuman, anggukan, acungan jempol, dan sebagainnya. Penguatan tersebut diberikan dengan maksud agar konseli menjadi termotivasi dalam melakukan tingkah laku yang diharapkan.
2.2.4. Keuntungan Perkuatan Intermiten
        Dalam melaksanakan konseling behavioral dengan menggunakan teknik perkuatan intermiten terdapat beberapa keuntungan yang bisa diperoleh dari hasil konseling tersebut. Menurut Indrayani, Suarni, dan Mudjijono (dalam Fejournal Undiksha, 2013) penggunaaan teknik penguatan intermiten memiliki beberapa keuntungan diantaranya: 1) reinforcer tetap efektif dalam waktu yang lebih lama daripada continuous reinforcement (penguatan berkelanjutan), 2) perilaku yang diberi intermittentreinforcementcenderung lebih lama hilang daripada yang diberi continuous reinforcement(penguatan berkelanjutan), 3) individu bekerja lebih konsisten, 4) perilaku yang diberi intermittentreinforcementberlangsung dengan cepat ketika dipindah ke reinforcer dalam lingkungan yang alami. Senada dengan pendapat tersebut pernyataan diatas juga didukung oleh pendapat dari Javanovich (1983:308) yang menyatakan bahwa, “penguatan intermiten mampu mempertahankan tingkah laku siswa secara optimal, bahkan lebih kuat dari penguatan yang berkelanjutan (continuous reinforcement). Hal tersebut terjadi karena terdapat sedikit perbedaan antara situasi setelah diperkuat dan situasi sebelum diperkuat.”



2.3. Kedisiplinan
2.3.1. Pengertian Kedisiplinan
       Kedisiplinan berasal dari kata disiplin, menurut kamus besar Bahasa Indonesia “disiplin mempunyai arti ketaatan dan kepatuhan pada aturan, tata tertib dan lain sebagainya”. Kata kedisiplinan berasal dari bahasa Latin yaitu discipulus, yang berarti mengajari atau mengikuti yang dihormat. Kedisiplinan adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan, dan atau ketertiban. Karena sudah menyatu dengannya, maka sikap atau perbuatan yang dilakukan bukan lagi atau sama sekali tidak dirasakan sebagai beban, bahkan sebaliknya akan membebani dirinya bilamana ia tidak berbuat sebagaimana lazimnya (Prijodarminto, 1994).
       Menurut Ekosiswoyo dan Rachman (2000), kedisiplinan hakikatnya adalah sekumpulan tingkah laku individu maupun masyarakat yang mencerminkan rasa ketaatan, kepatuhan, yang didukung oleh kesadaran untuk menunaikan tugas dan kewajiban dalam rangka pencapaian tujuan.
       Kedisiplinan dapat diartikan sebagai serangkaian aktivitas/latihan yang dirancang karena dianggap perlu dilaksanakan untuk dapat mencapai sasaran tertentu (Sukadji, 2000). Kedisiplinan merupakan sikap atau perilaku yang menggambarkan kepatuhan kepada suatu aturan atau ketentuan. Kedisiplinan juga berarti suatu tuntutan bagi berlangsungnya kehidupan yang sama, teratur dan tertib, yang dijadikan syarat mutlak bagi berlangsungnya suatu kemajuan dan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik (Budiono, 2006).
      Shochib (2000:2) mengemukakan pribadi yang memiliki dasar-dasar dan mampu mengembangkan kedisiplinan diri berarti memiliki  keteraturan diri berdasarkan acuan nilai moral. Lebih lanjut dijelaskan bahwa siswa yang mengembangkan kedisiplinan diri memiliki keteraturan diri berdasarkan nilai agama, nilai budaya, aturan-aturan pergaulan, pandangan hidup, dan sikap hidup yang bermakna bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa, dan negara.
       Menurut Sugeng Prijodarminto (dalam Tu’u, 2004:31) disiplin sebagai kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan, atau ketertiban.
Santoso (2004) menyatakan bahwa kedisiplinan adalah sesuatu yang teratur, misalnya disiplin dalam menyelesaikan pekerjaan berarti bekerja secara teratur. Kedisiplinan berkenaan dengan kepatuhan dan ketaatan seseorang atau kelompok orang terhadap norma-norma dan peraturan-peraturan yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Kedisiplinan dibentuk serta berkembang melalui latihan dan pendidikan sehingga terbentuk kesadaran dan keyakinan dalam dirinya untuk berbuat tanpa paksaan.
      Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), menyatakan bahwa disiplin adalah:
a.    Tata tertib (di sekolah, di kantor, kemiliteran, dan sebagainya).
b.    Ketaatan (kepatuhan) pada peraturan tata tertib.
c.    Bidang studi yang memiliki objek dan sistem tertentu.
      Maman Rachman (1999) dalam Tu’u (2004:32) menyatakan disiplin sebagai upaya mengendalikan diri dan sikap mental individu atau masyarakat dalam mengembangkan kepatuhandan ketaatan terhadap peraturan dan tata tertib berdasarkan dorongan dan kesadaran yang muncul dari dalam hatinya. Menurut Soetjipto dan Raflis Kosasi (dalam skripsi Imaniyah, 2010:20) disiplin merupakan suatu keadaan dimana sikap, penampilan, dan tingkah laku siswa sesuai dengan tatanan nilai, norma, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku di sekolah atau di kelas dimana mereka berada.
       Menurut Akhmad Sudrajat (dalam jurnal ilmiah konseling, 2013) setiap siswa dituntut dan diharapkan untuk berperilaku setuju dengan aturan dan tata tertib yang berlaku di sekolahnya. Perilaku, aturan dan tata tertib yang berlaku di sekolah tersebut dapat dikelompokkan  menjadi dua, yaitu: (1) kepatuhan dan ketaatan siswa terhadap berbagai peraturan dan tata tertib yang berlaku disekolahnya, itu biasa disebut dengan disiplin siswa. (2) peraturan, tata tertib dan berbagai ketentuan lainnya yang berupaya mengatur perilaku siswa disebut disiplin sekolah.
        Dari pendapat diatas peneliti menyimpulkan bahwa kedisiplinan adalah sikap atau perilaku siswa yang mencerminkan rasa ketaatan, kepatuhan, dan ketertiban terhadap berbagai peraturan atau tata tertib yang berlaku di sekolah sehingga siswa memiliki keteraturan diri untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya di sekolah dalam rangka mencapai perubahan-perubahan perilaku kearah yang lebih baik.
2.3.2. Pentingnya Kedisiplinan
       Dalam belajar disiplin sangat diperlukan. Disiplin dapat melahirkan semangat menghargai waktu, bukan menyia-nyiakan waktu berlalu dalam kehampaan. Ketika memasuki sekolah siswa dihadapkan pada berbagai peraturan dan tata tertib yang harus ditaati dan dilaksanakan, misalnya kita diharuskan masuk sekolah tepat pada waktunya, harus berpakaian rapi sesuai peraturan yang berlaku. Kita juga diwajibkan untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru dan tidak boleh malas dan diharuskan untuk banyak belajar di rumah. Semua itu dimaksudkan agar tercipta suasana belajar yang baik dan harmonis, sehingga diharapkan para siswa dapat belajar dengan baik dan mencapai apa yang ia cita-citakan.
      Disiplin apabila dikembangkan dan diterapkan dengan baik, konsisten dan konsekuen maka akan berdampak positif bagi kehidupan dan perilaku siswa, karena disiplin dapat mendorong siswa belajar dengan kongkrit dalam praktek hidup di sekolah tentang hal-hal yang positif.  Berkenaan dengan tujuan  disiplin sekolah, Rachman (dalam skripsi Margiyanto, 2010:38) mengemukakan bahwa tujuan disiplin sekolah adalah:
(1)     Memberi dukungan bagi terciptanya perilaku yang tidak menyimpang;
(2)     Mendorong siswa melakukan yang baik dan benar;
(3)     Membantu siswa memahami dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya dan menjauhi melakukan hal-hal yang dilarang oleh sekolah; dan
(4)     Siswa belajar hidup dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan bermanfaat baginya serta lingkungannya.
2.3.3. Fungsi Kedisiplinan
Fungsi kedisiplinan menurut Tu’u (2004) adalah:
a.       Menata kehidupan bersama
Kedisiplinan sekolah berguna untuk menyadarkan siswa bahwa dirinya perlu menghargai orang lain dengan cara menaati dan mematuhi peraturan yang berlaku, sehingga tidak akan merugikan pihak lain dan hubungan dengan sesama menjadi baik dan lancar.
b.      Membangun kepribadian
Pertumbuhan kepribadian seseorang biasanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Disiplin yang diterapkan di masing-masing lingkungan tersebut memberi dampak bagi pertumbuhan kepribadian yang baik. Oleh karena itu, dengan disiplin seseorang akan terbiasa mengikuti, mematuhi aturan yang berlaku dan kebiasaan itu lama kelamaan masuk ke dalam dirinya serta berperan dalam membangun kepribadian yang baik.
c.       Melatih kepribadian
Sikap, perilaku, dan pola kehidupan yang baik dan berdisiplin terbentuk melalui latihan. Demikian juga dengan kepribadian yang tertib, teratur dan patuh perlu dibiasakan dan dilatih.

d.      Pemaksaan
Disiplin dapat terjadi karena adanya pemaksaan dan tekanan dari luar, misalnya ketika seorang siswa yang kurang disiplin masuk ke satu sekolah yang berdisiplin baik, terpaksa harus mematuhi tata tertib yang ada di sekolah tersebut.
e.       Hukuman
Tata tertib biasanya berisi hal-hal positif dan sanksi atau hukuman bagi yanng melanggar tata tertib tersebut.
Menciptakan lingkungan yang kondusif
Disiplin sekolah berfungsi mendukung terlaksananya proses dan kegiatan pendidikan agar berjalan lancar dan memberi pengaruh bagi terciptanya sekolah sebagai lingkungan pendidikan yang kondusif bagi kegiatan pembelajaran.
2.3.4. Unsur Kedisiplinan
      Menurut Hurlock (dalam skripsi Handayani, 2007:85) menyebutkan 4 unsur disiplin yang memberikan pengaruh yang cukup besar untuk meningkatkan kedisiplinan individu, yaitu sebagai berikut:
1.      Peraturan
     Peraturan adalah pola yang ditetapkan untuk mengatur perilaku. Pola tersebut bertujuan untuk membekali individu dengan pedoman perilaku yang disetujui bersama dalam kelompok, rumah, sekolah dalam situasi tertentu. Peraturan mempunyai 2 fungsi yaitu:
a)    Peraturan mempunyai nilai pendidikan
Adanya peraturan dapat membantu mendidik siswa, artinya adanya peraturan yang dibuat secara tidak langsung mengajarkan kepada siswa mengenai nilai moral dan juga mengajarkan siswa akan perilaku mana yang benar dan mana yang salah.
b)   Membantu mengekang perilaku yang tidak diinginkan, artinya adanya peraturan atau larangan dapat membatasi perilaku siswa yang tidak diharapkan dan tidak disetujui oleh lingkungan.
2.      Hukuman
     Hukuman bertujuan untuk mencegah tindakan yang tidak baik, untuk mendidik dan menyadarkan siswa bahwa perbuatan yang salah mempunyai akibat tidak menyenangkan. Hukuman mempunyai 3 fungsi yaitu:
a)    Fungsi pertama adalah menghalangi, hukuman menghalangi pengulangan tindakan yang tidak diinginkan oleh masyarakat.
b)   Fungsi kedua adalah fungsi mendidik, yakni menyadarkan anak bahwa setiap perbuatan itu mempunyai konsekuensi.
c)    Fungsi ketiga adalah hukuman, yakni memberi motivasi anak untuk menghindari kesalahan.
3.      Penghargaan
     Penghargaan yang diberikan kepada siswa sebenarnya tidak perlu selalu berupa materi, tetapi dapat juga berupa kata-kata, pujian, senyuman,tepukan punggung, dan sebagainya. Penghargaan mempunyai 3 fungsi yaitu:
a)    Fungsi pertama penghargaan mempunyai nilai mendidik, agar dengan diberikannya penghargan siswa memahami bahwa perilaku yang diperbuat benar.
b)   Fungsi kedua penghargaan ialah sebagai motivasi untuk mengulangi dan meningkatkan perilaku yang baik dan disetujui oleh lingkungan sosial.
c)    Fungsi ketiga penghargaan ialah memperkuat perilaku, artinya dengan adanya penghargaan siswa merasa perilaku yang dilakukan tidak hanya taat aturan tetapi juga memberikan keuntungan bagi dirinya.
4.      Konsistensi
      Konsistensi berati keseragaman atau tingkat kestabilan, konsisten harus menjadi ciri semua aspek disiplin. Harus ada konsisten dalam peraturan, hukuman, dan juga penghargaan, supaya anak tidak bingung. Jika tidak konsisten anak akan sulit menetukan mana yang benar dan boleh dilakukan dan mana yang salah dan tidak boleh dilakukan. Konsisten mempunyai 3 fungsi yaitu:
a)    Fungsi pertama ialah mendidik siswa untuk selalu menjalankan perilaku disiplin dalam kesehariannya.
b)   Fungsi kedua ialah motivasi, siswa yang selalu menerima konsistensi hukuman atas perilaku yang salah dan penghargaan atas perilaku yang benar makan akan termotivasi untuk selalu menjalankan perilaku yang benar.
c)    Fungsi ketiga ialah mempertinggi penghargaan terhadap perturan dan orang yang berkuasa.




2.3.5. Faktor yang mempengaruhi kedisiplinan
      Menurut Ekosiswoyo dan Rachman (2000), faktor-faktor yang mempengaruhi kedisiplinan, antara lain:
Dari sekolah, contohnya:
a.    Tipe kepemimpinan guru atau sekolah yang otoriter yang senantiasa mendiktekan kehendaknya tanpa memperhatikan kedaulatan siswa. Perbuatan seperti itu mengakibatkan siswa menjadi berpura-pura patuh, apatis atau sebaliknya. Hal itu akan menjadikan siswa agresif, yaitu ingin berontak terhadap kekangan dan perlakuan yang tidak manusiawi yang mereka terima.
b.    Guru yang membiarkan siswa berbuat salah, lebih mementingkan mata pelajaran daripada siswanya.
c.    Lingkungan sekolah seperti: hari-hari pertama dan hari-hari akhir sekolah (akan libur atau sesudah libur), pergantian pelajaran, pergantian guru, jadwal yang kaku atau jadwal aktivitas sekolah yang kurang cermat, suasana yang gaduh, dan lain-lain.
Dari keluarga, contohnya:
a.    Lingkungan rumah atau keluarga, seperti kurang perhatian, ketidak teraturan, pertengkaran, masa bodoh, tekanan, dan sibuk urusannya masing-masing.
b.    Lingkungan atau situasi tempat tinggal, seperti lingkungan kriminal, lingkungan bising, dan lingkungan minuman keras.
2.4.6. Bentuk-bentuk perilaku pelanggaran sekolah
Menurut Kooi dan Schutx (dalam Sukadji, 2000), hal-hal yang dianggap sebagai perilaku pelanggaran disiplin dapat digolongkan dalam lima kategori umum, yaitu:
a.    Agresi fisik (pemukulan, perkelahian, perusakan, dan sebagainya).
b.    Kesibukan berteman (berbincang-bincang, berbisik-bisik, berkunjung ketempat duduk teman tanpa izin).
c.    Mencari perhatian (mengedarkan tulisan-tulisan, gambar-gambar dengan maksud mengalihkan perhatian dari pelajaran).
d.   Menantang wibawa guru (tidak mau nurut, memberontak, memprotes dengan kasar, dan sebagainya), dan membuat perselisihan (mengkritik, menertawakan, dan mencemoohkan).
e.    Merokok di sekolah, datang terlambat, membolos, dan “kabur”, mencuri dan menipu, tidak berpakaian sesuai dengan ketentuan, mengompas (memeras teman sekolah), serta menggunakan obat-obatan terlarang maupun minuman keras di sekolah.
2.4.6. Bentuk Tata Tertib Sekolah di SMA Negeri 3 Tanjung Raja
Angka Kredit Pelanggaran Peserta Didik SMA Negeri 3 Tanjung Raja
NO.
NAMA PELANGGARAN
KREDIT
I
KETERLAMBATAN

1.  Terlambat lebih dari 5 menit
2
2.  Terlambat masuk setelah istirahat
5
3.  Keluar saat kegiatan belajar mengajar
5
4.  Izin keluar dan tidak kembali lagi
10
II
KEHADIRAN

1.  Tidak masuk sekolah dengan alasan izin
1
2.  Tidak masuk sekolah tanpa alasan
10
3.  Tidak masuk sekolah, tapi membuat surat palsu
10
4.  Tidak piket kelas atau tidak piket umum
5
5.  Tidak mengikuti upacara
10
6.  Tidak masuk sekolah sakit lebih dari 2 hari tanpa
2
  keterangan dokter/ puskesmas

III













PAKAIAN

1.  Pakaian tidak rapi
5
2.  Tidak pakai atribut
2
3.  Tidak pakai topi dan dasi saat upacara
2
4.  Pakai ikat pinggang lebar
5
5.  Tidak memakai kaos kaki putih dan memakai sepatu bukan hitam
5
6.  Pakaian dikeluarkan, ketat dan jankis
5
7.  Pakai topi bukan topi sekolah
2
8.  Pakai celana bermuara lancip bagi putra
5
9.  Pakai jaket dalam kelas kecuali sakit
5
10.   Pakai baju kaos/kaos olahraga saat KBM
5
11.   Rok pinggul bagi putri
5
12.   Memakai kaos dalam warna-warni
2
13.   Memakai baju seragam tidak sesuai dengan hari yang ditetapkan
5
IV












KEPRIBADIAN

1.       Pakai perhiasan bagi siswa putri (aksesoris gelang, behel gigi, dll)
5
2.       Pakai kalung/gelang bagi siswa putra
5
3.       Rambut dibuat model/gaya, warna warni atau dicat
5
4.       Berkata tidak senonoh
5
5.       Mengancam sesama siswa
10
6.       Mencuri
25
7.       Menerima/mengaktifkan hp saat KBM
10
8.       Merokok dalam lingkungan sekolah (jam 07.00-14.00)
25
9.       Membuang sampah sembarangan
5
10.   Merusak/mencoret fasilitas sekolah
10
11.    Makan atau ngemil pada saat KBM berlangsung
10
12.   Membawa HP pakai kamera
20
V
KETERTIBAN

1.         Minumbulkan kegaduhan di dalam dan di luar saat KBM
10
2.         Melompat pagar/minggat disaat KBM
15
3.         Membawa makanan/minuman ke dalam kelas
15
4.         Makan di kantin saat KBM
20
5.         Bermusuhan/berkelahi di dalam dan di luar kelas
50
6.         Tidak mengerjakan tugas atau PR
5
7.         Tidak mengembalikan buku perpustakaan
50
8.         Membawa buku, majalah porno, CD, dan gambar porno di dalam HP
100
9.         Pelecehan seksual
150
VI
SENJATA TAJAM/TAWURAN/NARKOBA

1.    Membawa senjata tajam tanpa izin sekolah
100
2.    Mengancam/melawan kepala sekolah, guru, karyawan
150
3.    Berkelahi/tawuran baik di dalam dan di luar kelas
100
4.    Mabuk, minuman keras
100
5.    Menggunakan narkoba di luar dan di dalam kelas
150
6.    Jadi provokator perkelahian
100
VII
SISWA WAJIB MENGIKUTI KEGIATAN EKSTRAKURIKULER, PENGEMBANGAN DIRI DAN LAYANAN BIMBINGAN KONSELING

1.    Tidak mengikuti Ekstra Kurikuler
10
2.    Tidak ikut Bimbingan Konseling
10
3.    Tidak ikut pengembangan diri
10
4.    Tidak ikut kegiatan jumat taqwa/baca yasin bersama
10

III. METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
3.2.  Pendekatan dan Jenis penelitian
        Metode penelitian yang dipakai peneliti adalah menggunakan pendekatan kuantitatif. Karena dalam pengelolaan data peneliti menggunakan perhitungan statistik  yang telah baku dan menampilkan hasil berupa angka-angka. Sedangkan metode penelitian ini adalah eksperimen. Menurut Gay (dalam Emzir, 2012:64) metode penelitian eksperimental merupakan satu-satunya metode penelitian yang dapat menguji secara benar hipotesis menyangkut hubungan kausal (sebab akibat). Dalam studi eksperimental, mengontrol variabel lain yang relevan, dan mengobservasi efek/pengaruhnya terhadap satu atau lebih variabel terikat. Menurut Arikunto (2010:9) dengan caraini peneliti sengaja membangkitkan timbulnya sesuatu kejadian atau keadaan, kemudian diteliti bagaimana akibatnya.” Dengan kata lain, eksperimen adalah suatu cara untuk mencari hubungan sebab akibat (hubungan kausal) antara dua faktor yang sengaja ditimbulkan oleh peneliti dengan mengeliminasi atau mengurangi atau menyisihkan faktor-faktor lain yang mengganggu. Eksperimen selalu dilakukan dengan maksud untuk melihat akibat suatu perlakuan.
        Menurut Sugiyono (2013:107) Penelitian eksperimen dapat diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan.
“Disain penelitian eksperimen secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu (1) disain kelompok (group design) dan (2) disain subyek tunggal (single subject design)” (Sunanto, dkk., 2006:41).
        Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode eksperimen dengan subjek tunggal atau Single Subject Research (SSR), yaitu penelitian yang dilaksanakan pada subyek dengan tujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh dari perlakuan yang diberikan secara berulang-ulang dalam waktu tertentu (dalam jurnal Pertiwi, 2013:23). Single Subject Research (SSR) biasanya digunakan dalam penelitian tentang perubahan tingkah laku yang timbul akibat adanya intervensi yang dilakukan secara berulang-ulang dalam kurun waktu tertentu. Dalam penelitian modifikasi perilaku ini, penggunaan data individu lebih utama daripada rata-rata kelompok. Menurut Sunanto, dkk (2006:11) memaparkan bahwa dalam proses penelitianSingle Subject Research (SSR) ada empat kegiatan utama yang perlu dilakukan, yaitu mengidentifikasi masalah dan mendefinisikan dalam bentuk perilaku yang akan diubah yang teramati dan terukur; menentukan tingkat perilaku yang akan diubah sebelum memberikan intervensi; memberikan intervensi; dan menindaklanjuti (follow up) untuk mengevaluasi apakah perubahan perilaku yang terjadi menetap atau bersifat sementara. Dalam istilah penelitian subyek tunggal, perilaku yang akan diubah disebut perilaku sasaran atau target behavior yang dalam penelitian eksperimen pada umumnya disebut variabel terikat.
3.1.1        Desain Penelitian
        Penelitian ini berbentuk Single Subject Research (SSR). Disain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah disain A-B. Disain A-B merupakan disain dasar dari penelitian di bidang modifikasi perilaku dengan subyek tunggal. Disain A-B ini melibatkan satu peserta saja. Prosedur disain ini disusun atas dasar apa yang disebut dengan logika baseline (baseline logic). Dengan penjelasan yang sederhana, logika baseline menunjukkan suatu pengulangan pengukuran perilaku sasaran (target behavior) pada sekurang-kurangnya dua kondisi, yaitu kondisi baseline (A) dan kondisi intervensi (B) (Sunanto, dkk., 2006:42).Dimana (A) merupakan phase baseline sebelum diberikan intervensi, (B) merupakan phase treatment.Phase baseline (A) adalah suatu phase saat target behavior diukur secara periodik sebelum diberikan perlakuan tertentu. Phase treatment (B) adalah phase saat target behavior diukur selama perlakuan tertentu diberikan. Jika terjadi perubahan perilaku sasaran pada kondisi intervensi setelah dibandingkan dengan kondisi baseline, maka diasumsikan bahwa perubahan tersebut karena adanya pengaruh dari intervensi yang diberikan (dalam ejournal UNP, 2013:249).
        Lovaas (dalam Sunanto, 2006:42) menyatakan bahwa prosedur utama yang ditempuh dalam disain A-B meliputi pengukuran perilaku sasaran (target behavior)pada kondisi baseline dan setelah kecenderungan arah dan level datanya stabil kemudian intervensi mulai diberikan. Selama kondisi intervensi perilaku sasaran (target behavior) secara kontinu dilakukan pengukuran sampai mencapai data yang stabil. Oleh sebab itu, maka menurut Hasselt dan Hersen (dalam Sunanto, 2005) dalam penelitian single subject akan selalu ada pengukuran perilaku pada fase baseline dan pengulangannya pada sekurang-kurangnya satu fase intervensi.
               Desain penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut:
A - B
 


Sumber: (Sunanto, 2006:42)
Keterangan:
A: Baseline (Kondisi sebelum diberikan intervensi)
B: Intervensi (Kondisi selama perlakuan/intervensi tertentu diberikan)
Secara umum disain A-B mempunyai prosedur dasar seperti yang digambar sebagai berikut:
P          50
E
R
I           40
L     
A
K
U          30            Baseline (A)                            Intervensi (B)
S
A
S          20
A
R                                                             
A         10                                                
N                                                             
                                 1          2          3                   4       5       6         7
                                                           
                                                                        SESI (WAKTU)
                                                            Grafik 3.1 Pola Desain A-B
Keterangan:
1.      Baseline (A), adalah gambaran mengenai kondisi asli sebelum diberikan perlakuan atau intervensi. Gambaran asli tersebut adalah kondisi awal perilaku kedisiplinan subjek pada kegiatan sehari-hari di sekolah. Untuk mengukur perilaku tidak disiplin subjek menggunakan persentase yang dilakukan sebanyak 3 sesi.
2.      Intervensi (B), adalah gambaran mengenai perilaku kedisiplinan subjek selama diberikan intervensi secara berulang-ulang dengan melihat hasil pada saat intervensi. Intervensi yang diberikan adalah konseling behavioral dengan menggunakan teknik perkuatan intermiten untuk mengurangi perilaku ketidak disiplinan subjek. Fase intervensi ini dilakukan sebanyak 4 sesi.

3.3. Lokasi Penelitian
        Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Tanjung Raja yang beralamat di Jalan Lintas Timur Dusun Ulak Kerbau Kecamatan Tanjung Raja Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan.

3.4.Variabel Penelitian
3.4.1. Definisi Variabel
        Menurut Arikunto  (2010:159)  istilah “variabel” merupakan istilah yang tidak pernah ketinggalan dalam setiap jenis penelitian, F.N. Kerlinger menyebut variabel sebagai sebuah konsep seperti halnya laki-laki dalam konsep jenis kelamin, insaf dalam konsep kesadaran.
        Menurut Sutrisno Hadi (dalam Arikunto, 2010:159) mendefinisikan variabel sebagai gejala yang bervariasi misalnya jenis kelamin, karena jenis kelamin mempunyai variasi: laki-laki---perempuan; berat badan, karena ada berat 40 kg, dan sebagainya. Gejala adalah objek penelitian, sehingga variabel adalah objek penelitian yang bervariasi.
        Menurut Sugiyono (2013:61) Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.
Macam-macam variabel dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu: 1. Variabel Independen: variabel ini sering disebut sebagai variabel stimulus, predictor, antecedent. Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai variabel bebas. Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat). 2. Variabel Dependen: sering disebut sebagai variabel output, kriteria, konsekuen. Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai variabel terikat. Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Dalam penelitian ini yang menjadi kedua variabel tersebut adalah:
1.    Variabel Independen (variabel bebas): Layanan konseling behavioral dengan teknik perkuatan intermiten
2.    Variabel Dependen (variabel terikat): Kedisiplinan Siswa
3.5. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional merupakan uraian yang berisi perincian sejumlah indikator yang dapat diamati dan diukur untuk mengidentifikasi variabel atau konsep yang digunakan.
Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
3.5.1. Definisi Operasional Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah Layanan konseling behavioral dengan teknik perkuatan intermiten, yang dimaksud dalam penelitian ini adalah layanan konseling individual yang diberikan oleh peneliti kepada siswa yang mengalami masalah ketidak disiplinan di sekolah dengan cara melalui assesment, goal setting, technique implementation, evaluation termination, feedback dengan tujuan agar terjadinya perubahan tingkah laku pada siswa ke arah yang lebih baik dan dengan teknik perkuatan intermiten bertujuan untuk membantu siswa dalam meningkatkan kedisiplinan siswa di sekolah.
3.5.3. Definisi Operasional Terikat
Variabel bebas pada penelitian ini adalah kedisiplinan siswa “Y”. Kedisiplinan siswa di sekolah yang dimaksud, yaitu sikap atau perilaku siswa yang berkaitan dengan kehadiran, kepribadian, dan ketertiban yang sesuai dengan peraturan atau tata tertib yang berlaku di sekolah sehingga diharapkan siswa memiliki keteraturan diri untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya di sekolah dalam rangka mencapai perubahan-perubahan perilaku kearah yang lebih baik.
3.6. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah sumber data yang memiliki masalah. Subjek penelitian dalam penelitian ini diketahui melalui observasi langsung selama melaksanakan kegiatan Pelaksanaan Pengembangan dan Pengemasan Perangkat Pembelajaran (P4) di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Tanjung Raja, yaitu pada tanggal 2 Oktober sampai dengan 29 November 2014. Selain itu juga, informasi dari guru bimbingan dan konseling yang ada di SMA Negeri 3 Tanjung Raja dan dari daftar buku pelanggaran yang ada di sekolah pada masa Pelaksanaan Pengembangan dan Pengemasan Perangkat Pembelajaran (P4). Subjek penelitian adalah kedisiplinan siswa “Y”. Perilaku tidak disiplin di sekolah yang ditunjukkan oleh siswa yang berinisial “Y” di kelas X IPA 2 yang berjenis kelamin laki-laki dilihat dari daftar buku pelanggaran yang ada di sekolah, yaitu seperti sering datang terlambat ke sekolah, sering keluar masuk kelas pada saat jam pelajaran, berpakaian tidak rapi, memainkan handpone pada saat jam pelajaran, sering tidak mengikuti pelajaran di kelas, menyontek tugas teman, sering tidak mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, pernah melawan guru, merokok, dan tidak memperhatikan penjelasan guru dikelas.
3.7. Prosedur Penelitian
1.      Pengambilan sampel sebelum baseline
2.      Pelaksanaaan baseline
3.      Perancangan intervensi
4.      Merumuskan tujuan intervensi
5.      Sasaran intervensi
6.      Pelaksanaan intervensi
7.      Proses intervensi
8.      Evaluasi dan indikator keberhasilan
9.      Kondisi intervensi












3.8. InstrumenPengumpulan Data
3.8.1. Teknik Pengumpulan Data
Sebelum peneliti membuat instrumen pengumpulan data terlebih dahulu peneliti merumuskan kisi-kisi instrumen penelitian, yaitu:
Kisi-kisi Penyusunan Instrumen Variabel Kedisiplinan
=
Indikator
Sub Indikator
No. Item
Kedisiplinan adalah sikap atau perilaku siswa yang mencerminkan rasa ketaatan, kepatuhan, dan ketertiban terhadap berbagai peraturan atau tata tertib yang berlaku di sekolah sehingga siswa memiliki keteraturan diri untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya di sekolah dalam rangka mencapai perubahan-perubahan perilaku kearah yang lebih baik.

1.      Kehadiran
1.      Terlambat lebih dari 5 menit
2.      Keluar saat kegiatan belajar mengajar
3.      Tidak masuk sekolah dengan alasan izin atau tanpa alasan
4.      Tidak piket kelas atau tidak piket umum
5.      Tidak mengikuti upacara
2, 19

9, 10

1, 7


31, 44

28, 29
2.      Kepribadian
1.      Pakaian tidak rapi
2.      Tidak pakai atribut
3.      Tidak memakai kaos kaki putih dan memakai sepatu bukan hitam
4.      Memakai baju seragam tidak sesuai dengan hari yang ditetapkan
5.      Pakai kalung/gelang bagi siswa putra
6.      Rambut dibuat model/gaya, warna warni atau dicat
7.      Mengancam sesama siswa
8.      Mencuri
9.      Tidak menerima/mengaktifkan HP saat KBM
10.  Merokok dalam lingkungan sekolah (jam 07.00-14.00)
11.  Membuang sampah sembarangan
12.  Makan atau ngemil pada saat KBM berlangsung
15, 24
3, 35
36, 46


42, 47


37, 48

6, 27, 55


33, 49
34, 50
13, 22


11, 20


4, 23

38, 41
3.      Ketertiban
1.      Minumbulkan kegaduhan di dalam dan di luar saat KBM
2.      Melompat pagar/minggat disaat KBM
3.      Bermusuhan/berkelahi di dalam dan di luar kelas
4.      Tidak mengerjakan tugas atau PR
5.      Tidak mengembalikan buku perpustakaan
6.      Membawa buku, majalah porno, CD, dan gambar porno di dalam HP
7.      Membawa senjata tajam tanpa izin sekolah
8.      Menggunakan narkoba di luar dan di dalam kelas
9.      Tidak mengikuti Ekstra Kurikuler
10.  Tidak ikut Bimbingan Konseling

 18, 21


12, 8

16, 25

5, 30

14, 51

32, 52


17, 26

45, 53

39, 43

40, 54

Validitas
Untuk menguji validitas pada pernyataan ini dilakukan dengan menggunakan validitas ini. Validitas ini adalah kesesuaian butir-butir angket dengan obyek hendak diukur. Validitas ini adalah sistematik lewat pengujian terhadap isi tes sejauh mana item-item dalam tes mengungkap keseluruhan isi obyek yang diukur atau sejauh mana isi tes mencerminkan atribut yang diukur dalam penelitian ini, peneliti membuat 55 pernyataan/pertanyaan untuk diuji validitas dengan responden 10 siswa. Dimana responden 10 siswa yang akan diuji merupakan siswa yang dipilih berdasarkan dari ciri-ciri tingkah lakunya yang hampir sama dengan subjek penelitian yang juga sering melakukan pelanggaran tata tertib di sekolah atau tidak displin di sekolah. Penggunaan instrumen ini dimaksudkan untuk mendapatkan data informasi yang berkaitan dengan variabel penelitian. Hasil validitas item akan diberikan kepada responden. Penentuan validitas menggunakan SPPS 16.0.




    Perhitungan validitas secara manual menggunakan rumus product moment oleh phearson, yaitu:
Keterangan:
X = Skor yang diperoleh subyek dari seluruh item
Y = Skor total yang diperoleh dari seluruh item
ΣX = Jumlah skor dalam distribusi X
ΣY = Jumlah skor dalam distribusi Y
ΣX2 = Jumlah kuadrat dalam skor distribusi X
ΣY2 = Jumlah kuadrat dalam skor distribusi Y
N = Banyaknya responden
rxy= koofisien korelasi antara X dan Y

Reliabilitas
Uji reabilitas adalah alat untuk mengukur suatu instrumen atau kuisioner dapat dipercaya atau tidak sebagai hasil penelitian yang baik (Arikunto, 2006:154). Dalam penelitian ini untuk menguji reliabilitasnya menggunakan rumus Alpha Cronbach dengan rumus:
Untuk mempermudahkan perhitungan SPSS memberikan fasilitas untuk mengukur reliabilitas dengan uji statistik Alpha Cronbach. Suatu konstruk atau variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai lihat tabel Alpha Cronbach > 0,60.
1.     Angket
Angket didefinisikan sebagai sejumlah pertanyaan atau pernyataan tertulis tentang data faktual atau opini yang berkaitan dengan diri responden, yang dianggap fakta atau kebenaran yang diketahui dan perlu dijawab oleh responden (Sutoyo, 2012:189). Angket ini digunakan untuk memperoleh informasi dan mengungkapkan data tentang penerapan disiplin sekolah pada siswa. Angket tersebut akan diberikan kepada siswa sebelum dilaksanakan perlakuan dan sesudah dilaksanakan  perlakuan  dengan tujuan untuk mengetahui kondisi awal sebelum diberikannya perlakuan dan kondisi setelah diberikannya perlakuan.
Jenis pertanyaan dalam angket atau kuisioner ini adalah pertanyaan dalam bentuk pertanyaan tertutup dengan empat pilihan jawaban. Pada penelitian ini, angket atau kuesioner disusun dengan menggunakan format skala likert. Menurut Sugiyono (2013:134) skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Adapun pemberian skor untuk masing-masing item adalah sebagai berikut :
Tabel 1
Skor Penilaian

Pertanyaan

Skor
SL
SR
KD
JR
TP
Skor Pertanyaan Positif
5
4
3
2
1
Skor Pertanyaan Negatif
1
2
3
4
5








(Sugiyono, 2013:135)
Keterangan :
                                                             (+)                (-)
a.    Selalu (SL)                                        Skor 5              1
b.    Sering (SR)                                       Skor 4              2
c.    Kadang-kadang (KD)                       Skor 3              3
d.   Jarang (JR)                                        Skor 2              4
e.    Tidak Pernah (TP)                             Skor 1              5
    Rentang penilaian pada penelitian ini menggunakan rentang skor angket dari 1-5 dengan banyak item 55, sehingga interval kriteria tersebut dapat ditententukan dengan cara sebagai berikut :
Skor maksimum             = 5   x 55         = 275
Skor minimum               = 1   x  55        = 55
Rentang                                     = 275-55          = 220
Panjang kelas interval    = 220 :  4         = 55


Presentase skor maksimum        = (5:5) x 100%    = 100%
Presentase skor minimum          = (1:5) x 100%    = 20%
Rentang presentase skor            = 100% - 20%     = 80%
Panjang kelas interval                = rentang : banyak kriteria
                                       = 80% : 5              = 16%
Adapun rumus persentase yang digunakan adalah :
% = n x 100%
       N
Keterangan :
% = Persentase yang dicari
n = jumlah skor yang diperoleh
N = jumlah skor yang diharapkan

2.    Observasi atau Pengamatan
      Gall dkk. (dalam Sutoyo, 2012:85) memandang observasi sebagai salah satu metode pengumpulan data dengan cara mengamati perilaku dan lingkungan (sosial dan atau material) individu yang sedang diamati.
     Menurut Sugiyono (2013:203)  teknik pengumpulan data dengan observasi digunakan bila, penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar. Metode ini digunakan untuk mengungkap keterangan yang berhubungan dengan kegiatan yang dilakukan siswa saat diberikannya perlakuan di dalam kelas. Perilaku siswa yang diamati yaitu perilaku ketidakdisiplinan siswa sebelum melaksanakan kegiatan layanan konseling behavioral dengan teknik perkuatan intermiten dan pada saat dilaksanakannya tindakan.
Alat yang digunakan peneliti dalam observasi atau pengamatan ini ialah lembar daftar observasi yang berupa ceklis dari perilaku ketidakdisiplinan siswa di sekolah dengan memberikan tanda (√ ) pada kategori penilaian. Kategori penilaian ini adalah gambaran yang menunjukan situasi objek yang diamati atau diteliti. Dalam penelitian ini, dilakukan observasi dan yang menjadi observernya adalah guru/wali kelas siswa di SMA Negeri 3 Tanjung Raja.
3.9. Teknik Analisa Data
Analisis data dalam suatu penelitian ilmiah merupakan bagian yang sangat penting, karena dengan adanya analisis data dan masalah dalam penelitian tersebut dapat diketahui jawabannya. Dengan analisis data maka akan dapat membuktikan hipotesis dan menarik kesimpulan tentang masalah yang diteliti. Analisis data ini bertujuan untuk melihat apakah ada pengaruh layanan konseling kelompok melalui pendekatan konseling behavioral dengan teknik pengondisian operan terhadap penerapan kedisiplinan sekolah pada siswa. Oleh karena itu, angket kedisiplinan siswa yang digunakan dalam penelitian ini akan dianalisis secara deskriptif dalam bentuk kuantitatif. Kemudian data yang diperoleh dianalisis menggunakan visual data dan grafik (Visual Analysis of Graphic Data) serta hasilnya akan dianalisis menggunakan persentase (%).
Bedasarkan panjang kelas interval, maka interval kriterianya :
Tabel 2
Kategori Hasil Angket

Interval
Kategori
278-333
Sangat Tinggi
222-277
Tinggi
167-221
Sedang
111-166
Rendah
55-110
Sangat Rendah

Tabel 3
Kategori Persentase Kedisiplinan Siswa
Interval
Persentase
Kategori
278-333
>100%
Sangat Tinggi
222-277
71% - 80%
Tinggi
167-221
54% - 70%
Sedang
111-166
37% - 53%
Rendah
55-110
20% - 36%
Sangat Rendah

Sumber: Sugiyono (2013:137)
Keterangan :
   Dalam penelitian ini target yang ingin dicapai oleh peneliti untuk menganggap bahwa peneliti ini selesai dan berhasil, apabila hasil persentase responden dari angket berada pada kategori sangat rendah ke kategori sangat tinggi.




ANGKET KEDISIPLINAN SISWA

Nama                                :
Kelas                                 :
Jenis Kelamin                  : L/P

PETUNJUK PENGISIAN
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas kesediaan anda untuk mengisi angket ini. Angket ini bukan tes, oleh karena itu tidak ada jawaban benar atau salah. Seluruh pernyataan dalam angket ini tidak mengandung unsur penilaian yang berpengaruh pada nama baik, nilai maupun prestasi anda di sekolah, serta akan terjaga kerahasiaannya.
Sebelum mengisi angket ini, anda di mohon untuk memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
Pada angket yang ada, pilih dan berilah tanda chek (√ ) pada kolom jawaban yang sudah tersedia.                                                                                                                         Keterangan:
   SL    =          Selalu                                                                                       
 SR      =          Sering 
KD      =          Kadang-kadang
JR        =          Jarang
TP        =          Tidak Pernah                                                                                      
Oleh karena itu saya berharap anda bersedia untuk mengisi angket seluruhnya sesuai dengan keadaan anda / sesuai dengan yang anda rasakan (bukan sesuai dengan apa yang anda inginkan). Atas ketersediaan dan kejujuran anda dalam menjawab setiap pernyataan angket saya ucapkan terima kasih.
NO
BUTIR SOAL
JAWABAN
SL
SR
KD
JR
TP
1
Saya sering membolos dari sekolah





2
Saya datang ke sekolah tepat waktu





3
Tidak memakai atribut seragam dengan lengkap





4
Saya suka membuang sampah di laci meja di kelas





5
Saya selalu menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru di kelas





6
Rambut saya dipotong sesuai dengan aturan sekolah





7
Saya tidak masuk sekolah dikarenakan sakit atau kepentingan lainnya





8
Saya kadang membujuk teman untuk minggat dari sekolah disaat KBM (Kegiatan Belajar Mengajar)





9
Ketika jam pelajaran sedang berlangsung saya sering keluar masuk kelas





10
Jika ada jam kosong saya tetap berada di dalam kelas





11
Saya pernah merokok di dalam kelas ketika guru tidak ada di kelas





12
Saya sering minggat dari sekolah dan tidak kembali lagi pada saat KBM (Kegiatan Belajar Mengajar)





13
Ketika pelajaran sedang berlangsung saya tidak pernah memainkan HP di dalam kelas





14
Setiap kali saya meminjam buku di perpustakaan, saya tidak pernah mengembalikan buku tersebut





15
Saya tidak pernah memakai  seragam sekolah yang tidak rapi





16
Saya tidak suka berkelahi atau bermusuhan dengan teman di sekolah atau di luar sekolah





17
Ketika ke sekolah saya selalu membawa dan menyimpan senjata tajam di dalam tas





18
Ketika guru sedang menjelaskan materi pelajaran saya selalu memperhatikannya





19
Saya sering datang ke sekolah 15 menit setelah bel pelajaran dimulai





20
Saya tidak pernah merokok di lingkungan sekolah





21
Disaat guru menjelaskan materi pelajaran, saya  gaduh atau ribut dengan teman-teman seperti bergendang-gendang di dalam kelas





22
Ketika saya merasa bosan dengan materi pelajaran yang disampaikan oleh guru saya memilih untuk memainkan HP di dalam kelas





23
Saya membuang sampah di tempat sampah





24
Pakaian seragam yang saya kenakan sering kotor dan tidak rapi





25
Saya pernah dipanggil oleh guru BK dikarenakan saya bertengkar dengan teman sekelas





26
Saya tidak pernah membawa senjata tajam ke sekolah





27
Rambut saya disemir sesuai dengan warna kesukaan saya





28
Ketika upacara bendera pada hari Senin, saya suka menunggu di kantin sampe upacara selesai





29
Saya selalu mengikuti upacara bendera setiap hari senin





30
Saya terkadang tidak mengumpulkan tugas atau PR yang diberikan oleh guru





31
Saya melaksanakan tugas piket dengan penuh tanggung jawab





32
Saya suka membawa bacaan, gambar, atau VCD porno





33
Saya suka mengancam dan memeras teman-teman sekolah saya





34
Saya tidak pernah melakukan pencurian di lingkungan sekolah





35
Saya memakai seragam sekolah dengan atribut lengkap





36
Saya suka memakai kaos kaki warna-warni dan sepatu bukan warna hitam





37
Saya suka memakai gelang/kalung ke sekolah





38
Saya suka makan di kelas pada saat mengikuti pelajaran





39
Saya tidak pernah hadir dalam kegiatan ekstra kurikuler





40
Saya tidak mengikuti kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah





41
Saya makan makanan kecil tanpa sepengetahuan guru saat pelajaran berlangsung





42
Saya sering memakai seragam sekolah yang tidak sesuai dengan hari yang ditetapkan





43
Saya datang tepat waktu ketika ada kegiatan ekstra kurikuler





44
Saya tidak mau melaksanakan piket kelas





45
Saya membawa dan memakai Narkoba di dalam atau di luar lingkungan sekolah





46
Saya ke sekolah memakai sepatu warna hitam dan kaos kaki putih





47
Pakaian seragam sekolah saya sesuai dengan ketentuan yang berlaku di sekolah





48
Saya tidak pernah memakai aksesoris (gelang/kalung) ke sekolah





49
Saya selalu bersikap baik dan sopan dengan teman-teman saya di sekolah





50
Saya pernah mengambil barang milik teman saya





51
Saya selalu mengembalikan buku yang saya pinjam di perpustakaan





52
Saya tidak pernah membawa buku, majalah porno, CD, dan gambar porno di dalam HP ke sekolah






53
Saya tidak pernah memakai Narkoba di luar maupun di dalam kelas






54
Saya senang mengikuti kegiatan-kegiatan bimbingan dan konseling yang ada di sekolah





55
Rambut saya selalu dibuat model/gaya serta diwarna warni atau dicat



























DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta.
Asri, Ni Luh., Ni Ketut Suarni, dan Dewi Arum WMP. 2014. Efektivitas Konseling Behavioral Dengan Teknik Positive Reinforcement Untuk Meningkatkan Rasa Percaya Diri Dalam Belajar Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri Singaraja Tahun Pelajaran 2013/2014. http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CB8QFjAA&url=http%3A%2F%2Fejournal.undiksha.ac.id%2Findex.php%2FJJBK%2Farticle%2FviewFile%2F3649%2F2937&ei=yfHhVJi_Bo33yQSK8oCYCw&usg=AFQjCNEmbN-c20MHjNf9B_39JYOnP8S0RQ. Diaksestanggal 16 Februari 2015.
Corey, Gerald. 2005. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung : Refika Aditama.
Latipun. 2011. Psikologi Konseling. Malang : Universitas Muhammadiyah Malang.
Palmer, Stephen. 2011. Konseling dan Psikoterapi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Prayitno. 2004. Layanan Bimbingan Kelompok Konseling Kelompok. Universitas Negeri Padang.
Prayitno dan Amti E. 2008. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Sugiyono.2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.Bandung : PT. Alfabeta.
Sukardi, Dewa Ketut. 2008. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Sulistyarini dan Jauhar Mohammad. 2014. Dasar-Dasar Konseling. Jakarta : Prestasi Pustakaraya.
Sutoyo, Anwar. 2012. Pemahaman IndividuObservasi, Checklist, Interviu, Kuesioner dan Sosiometri. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Widiastuti, Theresia Linneke. 2008. Hubungan Antara Kedisiplinan Dengan Prestasi Belajar Siswa SMA Santo Bernardus Pekalongan. Skripsi. Semarang: Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata.
Willis, Sofyan. 2013. Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta.
































No comments:

Post a Comment